Obrolan Seputar Keraguan dan Covid-19
Bismillah
…
Beberapa hari lalu, terjadi obrolan dengan
(calon) dokter, mahasiswa fakultas kedokteran sebuah universitas negeri di Jawa
Tengah. Mahasiswa tersebut adalah mahasiswa yang telah wisuda sebagai Sarjana
Kedokteran (S.Ked) dan tengah koas sebelum akhirnya menjalani Sumpah Dokter.
Sebut saja namanya Yuri. Karena kondisi lockdown, ia dan teman-teman koas nya
harus koas online dari rumah masing-masing. Namun tahun ini
adalah tahun kedua sekaligus tahun terakhirnya sebagai koas.
Ada dilema dalam diri Yuri sebagai koas tahun
kedua. Sudah tidak banyak lagi materi yang bisa ia (dan teman-teman
seangkatannya) lakukan dengan online. Meski para dosen banyak memberi tugas
untuk ‘sisa-sia’ materi yang bisa dibawakan online, namun tetap
saja surat pemberitahuan untuk koas praktek (bertemu pasien langsung) pun
sampai secara online.
Dalam pemberitahuan itu dituliskan bahwa mahasiswa/i diminta untuk datang ke kampus dan bersedia melaksanakan koasnya di rumah sakit. Juga agar mahasiswa/i bersedia menerima segala resiko yang mungkin terjadi selama koas. Karena rumah sakit tempat Yuri koas adalah rumah sakit rujukan pasien Covid-19.
Yuri mengatakan, jika
mahasiswa/i tersebut tidak dapat melaksanakan koas nya karena terkendala sedang
di kampung halaman dan PSBB, maka dapat dilakukan nanti dengan masa koas yang
akan diperpanjang lebih dari dua tahun. Sehingga sumpah dokternya pun akan
semakin mundur. Kalau semuanya lancar, akhir tahun ini Yuri akan melaksanakan
sumpah dokternya. Tapi kalau tidak, maka tahun depan menjadi pilihan.
Bagi Yuri sendiri, rencana
awalnya ia akan sumpah dokter akhir tahun ini sehingga ia sangat ingin
melakukanya (koas di rumah sakit bertemu pasien langsung). Namun, sudah pasti
orang tuanya tidak akan merestui. Sebagai orangtua, mereka tidak ingin Yuri
terinfeksi Covid-19 karena berada di tempat yang rentan (rumah sakit). Inilah
yang akhirnya membuat Yuri dilema.
“kau tau?...” tanya Yuri
yang langsung disambung, “...46 dokter yang kemarin sempet diberitain
kecolongan pasien Covid, mereka itu seniorku.” Yuripun menjelaskan bahwa dari
46 dokter, 4 (atau 5 ya, lupa juga) diantara mereka adalah profesor. Sisanya
adalah para residen yang selama koas, bagi Yuri, mereka udah deket banget.
Kalau ada jaga malam, jaganya sama mereka. Kalau ada yang ditanya, tanya sama
mereka. Kalau mau ada keperluan dengan profesor, konsulnya sama mereka. Jadi
Yuri tau mereka yang positif Covid-19 kemarin. “Bahkan profesor yang positif
juga itu aku tau beliau baik banget...walaupun aku ga kenal sih” cerita Yuri.
Tapi itu yang semakin membuat
Yuri ingin koas bertemu pasien langsung. Karena ia mendengarkan sendiri
cerita-cerita para seniornya. Karena awal mula terinfeksi adalah pasien yang
tidak jujur, sehingga dokter tidak ada yang pakai APD. Belum lagi pada tindakan
operasi yang dilakukan pada pasien itu, ruangan operasi yang dingin semakin
membuat virus berkembang biak dengan baik dan menyebar ke seluruh dokter yang
ada di ruangan operasi.
Alasan yang membuat pasien
tersebut tidak jujur katanya karena ia memang ada gejala seperti batuk dan
gangguan pernafasan. Seharusnya jika sesuai prosedur, ia akan ditanya apakah
habis dari tempat yang zona merah atau tidak.
Kalau tidak, maka ia tidak perlu melakukan tes swab. Namun jika iya, maka ia
harus melakukan tes swab untuk memastikan. Positif atau negatif. Bahkan sempat
beredar kabar viral ada seseorang yang melarang masyarakat untuk ke dokter/rumah sakit. “kalau batuk (atau flu atau sakit lainnya yang mirip gejala
Covid-19) mending jangan ke rumah sakit. Karena nanti dokter bilangnya itu
Covid (meski ternyata hasil swabnya negatif).” Padahal sebenarnya itulah
prosedur. Untuk berjaga-jaga.
Kalau hasil tes swab negatif, ia akan
langsung diperbolehkan masuk UGD dan diperiksa dokter (yang hanya menggunakan masker dan
bukan APD). Tapi kalau positif ia tentu saja akan langsung diisolasi agar mencegah
penyebaran.
“Jadi kalau sesuai prosedur
sebenernya gapapa, kok. Dokter nya pakai APD. Pasien terbuka. Safe. Soalnya kan APD terbatas,
trus langsung buang habis pakai. Jadi ga semua dokter pake APD juga.” Tambahnya.
"Aku juga sebenernya ragu karena APD yang kurang sih. Kita kan cuma anak Koas, apa bakal dapet APD atau ngga, ga tau juga. Temenku sesama koas bahkan sampe bilang kalau kita kan belum sumpah dokter, jadi belum ada kewajiban kan... Gitu. Jadi kalaupun ketemu pasien langsung murni panggilan sebagai yang emang pengen banget jadi dokter."
"Jadi gimana?" tanyaku.
"Gatau lah. Bingung," kami pun mengakhiri obrolan.
...
Ditulis Sabtu, 09 Mei 2020 pukul 12. 54 WIB , dipublikasikan 19 Mei
2020 pukul 10.00 WIB
Risikonya tinggi ya sebagai nakes. Tapi mau gimana lagi sudah menjadi kewajiban. Semoga aja covid lekas berlalu
BalasHapus