Nasib para UKM terdampak Covid-19
Bismillah
…
Siapa yang menghitung sudah berapa lama kita
#dirumahaja? Xixi. Aku sendiri jujur bukan orang yang terlalu memerdulikan
berapa lama waktu berlalu. Karena tipikal introvert tentu sangat menyukai
kebijakan pysichal distancing ini. Tidak perlu ribut bertemu orang
banyak, atau memusingkan baju apa yang harus dipakai untuk pergi hari ini,
karena kalau sampai ketemu si A dengan baju yang sama akan menimbulkan
pertanyaan “Kok bajunya itu lagi-itu lagi?”.
Tapi saat menulis ini, aku akhirnya tergerak
melihat kalender untuk menghitung berapa hari yang sudah ku habiskan tanpa
perlu keluar rumah. Pertama kali aku pulang, sebelum ada himbauan ‘lockdown’,
adalah hari Ahad. Ketika hendak mengetik tanggal, betapa terkejutnya aku
menemukan fakta bahwa aku lupa apa itu pertengahan bulan April atau Maret. Lalu
semakin terkejut saat menyadari bahwa UTS ku berakhir akhir April lalu, di mana
dimulai sejak pertengahan April selama 1 minggu. Dan semakin terkejut terkejut
terkejut lagi, saat mengetahui fakta, bahwa sekarang sudah bulan Mei.
Seminggu sebelum pertengahan bulan, yang berarti aku sudah hampir dua bulan
(tepatnya dua bulan kurang satu minggu) berada di rumah. Huhuhu. Sungguh tidak
terasa *emot nangis*.
Kenapa sudah dua bulan bahkan tanpa ku sadari?
Sebegitu nyamannya kah himbauan #dirumahaja bagiku? T_T Padahal sama sekali
tidak ada pemasukan bulanan, yang artinya aku pengangguran.
Kenapa bisa
sesantai itu aku selama dua bulan?
Lalu berapa lama lagi ini akan berakhir?
Oke, sebenarnya bukan itu yang ingin aku bahas.
Hehe. Walau sangat terkejut, tapi mari kembali ke topik. Tulisan hari ini masih
tentang keseharianku, jadi it’s so real. Semoga enjoy!
…
Entah itu pagi, siang, -ataupun- sore, kegiatan
di rumah kami seperti biasanya sibuk. Sebagai salah satu bagian dari bertahan
hidup di tengah pandemi, juga hanya inilah satu-satunya sumber penghasilan
keluarga, sehingga kami tetap sibuk mem-produksi abon. Puasa benar-benar sudah
tidak dirasa, hanya badan yang menampakkan letih; kaki, tangan dan pundak yang
pegal karena harus duduk berjam-jam. Seperti biasa, tentu terjadi
obrolan-obrolan ringan sambil kegiatan produksi berlangsung.
Inti dari obrolan itu adalah tentang ada atau
tidaknya bantuan dari pemerintah. Karena industry kuliner yang kami miliki,
kami terbilang UKM (Usaha Kecil Menengah) yang pernah berada di bawah Dinas Koperasi & UKM ,
juga Dinas Perindustrian & Perdagangan. Sehingga beberapa kali owner (alias
ibuku) dimintai data oleh pihak Dinas. Juga diminta data oleh pihak kelurahan
dan kecamatan.
Meski tidak tahu data itu diminta untuk apa,
tapi ibuku memberikan data dengan harapan; bantuan dari pemerintah. Apalagi
maraknya pemberitaan bahwa Presiden Negara kita yang terhormat, bapak Jokowi,
akan membagi-bagikan sembako selama 2 bulan untuk wilayah Jabodetabek. Belum
lagi, di grup keluarga, saudara yang ada di kampung cerita bahwa di tempat
mereka mendapat bantuan dari pemerintah. Dan yang sedikit membuat iri adalah,
bahkan warga rumah tingkat 2 pun tetap dapat jatah bantuan pemerintah tersebut.
Disitu ibu sempat menyinggung, jangan sampai
bantuan pemerintah nantinya salah sasaran. Karena sampai saat ini, data
hanyalah sebatas data. Sudah satu bulan sejak data diisi dan tidak ada
kejelasan data-data yang sudah diberikan itu dipakai untuk apa.
Ibu juga menyinggung soal bantuan yang mungkin
diberikan lewat instansi/dinas terkait. Rumor tersebar bahwa beberapa(–mungkin-
sebagian) UKM menginginkan bantuan berupa pemberian modal. Namun ibu
berpendapat bahwa, “untuk apa ada modal, kalau pasarnya (pembelinya) tidak ada?”
Sehingga dari ibu sendiri, ingin agar dinas bisa membeli produk-produk UKM dan
memasarkan/menawarkan produknya agar banyak yang tahu dan jadi membeli
produk-produk UKM.
Seperti beberapa waktu lalu. Yang sudah membaca
ceritaku sebelumnya pasti tahu. Industry kami baru saja menyelesaikan 300
pack(bungkus) dimsum. Kalau ingin tahu, semua pesanan itu dipesan oleh Dinas
Perikanan dan Kelautan untuk awal bulan Mei ini. (Kami saat ini berada di bawah
Dinas Kelautan dan Perikanan karena produk olahan kami berupa ikan (abon ikan;
tuna, lele, gabus, bandeng) dan udang (dimsum)). Katanya pesanan tersebut akan
dibagikan. Jadi sangat membantu para UKM melewati masa krisis akibat pandemi
juga tetap berbagi kebaikan pada banyak orang.
Dan (ini sempet bikin aku ga ngerti sih) para
pelaku usaha (UKM) tentu bukan hanya dari industry kuliner. Namun ada juga
craft dan fashion. Meski sebagian besar kuliner, namun bidang craft dan fashion
juga mulai menjamur. Kita semua tahu, kebutuhan di tengan pandemi ini salah
satunya adalah masker dan APD (alat pelindung diri). Para pelaku usaha di
bidang craft dan fashion tentu bisa digiring agar dapat memenuhi pasar mengenai
kebutuhan masker dan juga APD.
Tapi tidak bagi industry kuliner. Tiap hari,
pelaku usaha di bidang kuliner berkecimpung di dapur dengan peralatan masak
seperti wajan, panci dan kompor. Tentu sangat tidak efisien jika kami –yang
berada di industry kuliner- harus beralih fungsi demi memenuhi kebutuhan pasar
yang membludak –di awal. Harus mencari alatnya lagi, bahan-bahannya, juga harus
mempelajari cara membuatnya yang terasa sangat tidak familiar. Begitulah.
Sangat tidak efisien jika suatu bidang dikerjakan oleh orang yang tidak mumpuni
alias bukan berasal dari bidang tersebut. Bisa-bisa hasilnya seperti ini:
Juga persoalan listrik, yang katanya PLN
memberikan potongan harga sekian dan sekian. Namun ketika bayar listrik
terlambat, konsekuensi ‘tetap didenda’ juga merupakan beban tersendiri untuk
para UKM. Padahal untuk mencari nafkah sehari-hari saja sudah sulit. Bisa bayar
listrik meski terlambat sebenarnya sudah harus sangat disyukuri.
Ah, iya. Ibu bilang ada orang dinas yang
mengajak para UKM untuk ‘meeting online’ layaknya para karyawan/siswa/mahasiswa
yang WFH (work from home) dan PJJ (pembelajaran jarak jauh).
Termasuk ibuku, banyak yang tidak menyanggupi dengan alasan produksi. Namun
dinas tersebut beranggapan bahwa bisnis/usaha para UKM masih berjalan lancar
meskipun adanya ‘lockdown’ dan untuk tetap #dirumahaja. Padahal, adanya
produksi bukan berarti segalanya berjalan lancar. Dengan sinis ibu berkata,
“karena (bagi para UKM) produksi adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup”. Yang tentu berbeda dengan
para PNS (dapat tunjangan ga sih, PNS tuh?).
Belum lagi ada yang bilang, katanya sudah
disampaikan ke DPR (terkait bantuan atau apa aku juga kurang faham. Maaf.).
Tabi ibu bilang, “yah, mereka (DPR) mah udah kenyang”.
Beberapa curhatan para pelaku usaha (UKM) juga
sempat menjadi topik obrolan kita selama produksi. Ibuku terbilang senior di
kalangan pelaku usaha di daerahku. Beberapa orang dinas –terutama orang lama
yang tidak dipindah tugaskan- tentu sangat mengetahui siapa ibu. Ibu juga
sangat aktif di kantor pajak, dan beberapa petinggi kantornya juga mengenal
siapa ibu. Jiwa sosialnya sangat tinggi, mampu mendekati siapapun dengan mudah,
berinteraksi dengan orang baru, dan bahkan menjadi pelopor. Sehingga itulah
ibuku. Layaknya artis. Berbeda 190° denganku. *sedih* L
Dan karena hal itu, beberapa UKM baru banyak
yang mendekati ibu. Awalnya baik dan manis. Ternyata ada tujuan di balik itu.
Bagi para UKM, bazaar merupakan salah satu cara untuk memperkenalkan brand
produk mereka. Dinas-dinas terkait juga KPP Pratama turut berperan aktif
menyediakan waktu dan tempat untuk dipakai bazaar yang biasanya diadakan rutin
pada bulan Ramadhan. Namun berbeda dengan Ramadhan kali ini yang harus
#dirumahaja. Info-info bazaar tersebut pun belum juga muncul di hari ke-10
puasa. Dan begitulah para UKM mendekati ibu.
Mereka berharap besar agar bazaar bisa diadakan
pada Ramadhan ini. Terutama bazaar di kantor pajak. Ssssttt… Sebagai bocoran,
orang pajak kalau beli produk dan mereka suka, belinya suka ga
nanggung-nanggung. Seingatku, tahun lalu, kami sampai menerima pesanan karena
produk hari itu terjual habis dengan sangat cepat. Karena satu orang yang beli
bisa 3 sampai 5 produk. Pokonya borong habis-habisan. >_< Mungkin itu
salah satu alasan banyak UKM yang ketagihan untuk bazaar di kantor pajak
(lagi).
Namun ibuku hanya bisa memberi jawaban ‘tidak
tahu’ dan ‘pantau grup (WhatsApp) saja ya’. Karena memang semua keputusan dan
kebijakan dikeluarkan oleh pihak terkait. Sebagai koordinator, ibuku tentu
hanya bisa memberi info, mengatur dll-nya terkait para UKM. Tentu bagi ibuku,
ada harapan agar bazaar bisa dilaksanakan. Namun dengan kondisi yang sekarang;
peraturan dilarang datang ke tempat ramai dan berkerumun, maka kecil
kemungkinan bazaar akan dilaksanakan.
Semoga ada secercah harapan bagi para UKM dan
pedagang harian yang terdampak Covid-19.
...
selesai ditulis 5 Mei 2020 dan dipublikasikan 9 Mei 2020 karena ga punya kuota wkwkwk
Komentar
Posting Komentar