Menyesalkah aku?
Source : google.com |
Bismillah…
Hari ini tulisanku di inspirasi
oleh buku diary adikku dan drama korea lama berjudul Reply 1988. Ya, jujur, aku termasuk dramaholic yang baru saja
menyelesaikan drama keluarga terbaik garapan akhir tahun 2015 hingga awal tahun
2016. Kenapa terbaik? Karena, alur cerita yang disajikan tidak melulu soal
cinta, namun tentang kekeluargaan yang dekat kehidupannya dengan keseharian
kita di dunia nyata. Meski berlatar waktu jadoel
alias jaman doeloe (tahun 1988), namun aku merasa drama ini sukses membuatku
menyelami bagaimana kehidupan di tahun itu. Sedikit banyak, aku membayangkan
kehidupan kedua orang tuaku yang pada tahun itu kurang lebih seusia dengan para
tokoh dalam drama tersebut.
Lalu tulisan ini diiringi dengan
perasaan “kenapa dulu aku ga nulis juga ya? Bisa jadi banyak tulisan-tulisanku
dulu yang kalau dibaca sekarang bikin ketampar.” Apalagi dalam salah satu
episode drama Reply 1988 ada adegan di mana pemeran utama wanita, Deok
Sun, terbiasa menulis buku diary. Lalu setelah sukses, dia membuka dan membaca
buku-buku itu lagi. Benar-benar yang setiap hari dia selalu tulis ada kejadian
apa hari itu, termasuk kisahnya saat menyatakan cinta pada cinta pertamanya
yang bertepuk sebelah tangan. Malu? Tentu saja. Tapi Deok Sun jadi punya
kenangan di situ yang menambah kenangan baru setelahnya.
Tapi tulisan kali ini, bukan ku
buat untuk me-review drama Reply 1988
ya… Karena aku yakin jika kalian googling
akan banyak sekali tulisan-tulisan review/synopsis melalui blog/website yang
sudah mengudara sejak drama tersebut tayang. Semoga kalian bisa menikmati
tulisanku kali ini, enjoy!
Menyesalkah aku?
Beberapa hari lalu, disebabkan
karantina 14 hari karena Corona Virus Covid-19, ku sempatkan diriku untuk
menjamah kamar yang sudah jarang ku tempati. Semenjak aku resmi menetap di Jakarta (2 tahun awal, aku harus PP
Jakarta-Tangerang), kamar itu digunakan untuk adik laki-laki terakhirku. Meski
begitu, sayangnya sebagai laki-laki, ia kurang cakap dalam hal mengurus kamar.
Setiap jadwalku pulang, entah dua minggu sekali atau sebulan sekali, selalu ku
dapati kamar dalam keadaan yang kurang nyaman. Namun karena waktu pulangku yang
terbatas, aku sudah kelelahan bahkan hanya dengan melihatnya. Rencanaku, memang
harus ku siapkan satu waktu khusus untuk mendekorasi ulang kamar tersebut.
Dan karantina inilah waktunya.
Ku siapkan amunisi dengan sarapan
terlebih dahulu, kemudian mengganti pakaian dengan pakaian yang bisa kubilang
‘sangat jelek’. Karena aku yakin kegiatan ini akan membuat kotor di mana-mana.
Dan kalau ada noda membandel, biarlah menempel pada pakaian jelek itu. Tak usah
dibayangkan jeleknya seperti apa. Walaupun jelek, ia masih pakaian layak pakai.
Bukan pakaian yang sudah bisa berubah status menjadi lap dapur. Haha
Yang kulakukan pertama kali
terhadap kamarku adalah menyentuh rak buku. Menyingkirkan buku-buku berdebu
yang sudah –mungkin satu setengah tahun lamanya– tidak tersentuh dari rangkaian
rak. Dengan kondisi rak buku yang ‘hampir roboh’ kelebihan beban. Lalu ku mulai
menyusun buku dan kitab yang masih bagus dan memisahkan buku-buku/kertas-kertas
‘sampah’. Buku/kitab yang besar dengan mudah ku tata dan ku susun. Namun untuk
buku-buku kecil ataupun kertas, harus ku lihat-lihat dan kubaca dengan teliti
sebelum memastikan mana yang harus dibuang dan disimpan.
Bukannya apa, aku terkadang
menyimpan catatan penting di bundalan kertas. Seperti data nama anak-anak yang
ku bimbing (ah tidak bisa ku sebut bimbing juga sih, tapi aku belum menemukan
kata yang pas untuk ini. Aku akan revisi
lagi nanti), saat menjadi fasilitator sanlat dari sebuah instansi di Jakarta.
Juga, karena inilah, ku temukan diary adikku di antara tumpukan buku-buku usang
tersebut.
Ada dua buku yang kutemukan. Semua
modelnya sama, ala buku diary, dengan sebuah kunci gembok. Tapi tentu saja
gemboknya sudah pada hilang atau terbuang, jadi buku diary itu jadi bebas
dibaca. Dari kedua buku tersebut –yang satu warna pink, satunya lagi warna
ungu– semuanya berisi kenangan-kenangan yang terjadi selama ia duduk di bangku
SMP/MTs. Begitu ku baca, ada perasaan lucu saat ia menyeritakan soal temannya,
atau ada perasaan haru saat ia bertengkar dengan temannya kemudian akhirnya
berbaikan, dan ada perasaan sesak saat tulisan yang kubaca bahwa seolah-olah ia
menceritakan semua itu kepada orang yang ia sebut ‘ibu’. Saat itu memang saat
di mana pertama kalinya ia sekolah jauh dari kedua orang tua, yang sampai
sekarangpun ia masih saja jauh. Yang paling lama sekolah jauh dari orang tua.
Bahkan tak ku sangka, ada –meski
sedikit- ceritaku di dalam bukunya. Katanya, waktu itu ia belum mendapat uang
jajan yang memang dipegang olehku sebagai seorang kakak. Yang membuatku
akhirnya flashback, “ternyata dulu aku kaya gini ya?”. Meski hanya
sedikit, sehingga yang ku kenang pun sedikit, namun aku seperti tersadarkan. ‘Kalau
aku, apa yang kupunya?’, ‘Tulisan macam apa yang pernah ku tulis?’, dan hal-hal
semacamnya yang membuatku tertegun. Menerawang jauh, apa saja yang sudah
terjadi selama ini. Mengingat-ingat kejadian lama yang tentu saja sudah banyak
sekali terlupa. Dan satu pertanyaan menelusup hatiku, “Menyesalkah aku?”.
Jika kembali ku ingat kejadian yang
telah lalu, bukan tanpa alasan sehingga tak ada satupun tulisan yang berhasil
ku tulis dan ku simpan. Itu karena aku selalu menulisnya di sembarang buku. Aku
tak pernah punya buku khusus untuk menuliskan hal-hal yang terjadi waktu itu. Kalian
taku lembaran belakang buku tulis? Nah, biasanya itu adalah tempat favoritku
untuk menulis. Atau, kalian biasa menyobek kertas bagian tengah buku tulis?
Sama. Dulupun aku begitu, jadi menyisakan banyak sampah kertas. Bahkan diary
yang sama yang ku punya seperti adikku –berwarna biru kalau tidak salah.
Sekarang bukunya entah di mana–, buku itu memiliki kenangan buruk karena pernah
‘dibobol’ teman-temanku. Kunci yang sudah ku sembunyikan berhasil mereka
temukan, dan mereka baca isi bukunya. Mungkin juga ini alasan sebenarnya aku
tak pernah menulis lagi. Karena takut ada yang baca.
Masa laluku bukanlah masa yang
indah yang bisa dikenang. Dan –lagi- mungkin ini juga menjadi penyebab aku tak
pernah menulis lagi. Bukannya mengenang, aku ingin sekali menghapus ingatan
menyakitkan itu. Berharap kejadian-kejadian itu tidak pernah terjadi, atau
hanyalah sebuah mimpi buruk. Namun, kini aku berada di usia di mana pikiranku
sudah jauh lebih matang. Kini aku tahu bahwa aku harus bisa menerima kenyataan
tentang masa laluku, dan memaafkan semuanya. Bahwa kini aku harus move on, dan
tidak lagi terjebak di sana. Tapi rasanya susah.
Setiap kali mengingat kejadian
lama, ada perasaan sesak. Terkadang aku bahkan tak sanggup melanjutkan
ceritaku. Terkadang aku harus menyendiri, meluapkan semuanya sendiri, dan pada akhirnya,
menangis adalah satu-satunya jalan yang membuat perasaanku menjadi lebih tenang
dan lega.
Dan aku, pernah ada di masa, di
mana ‘curhat’ bukanlah solusi. Yang ada hanyalah ketakutan “apa yang akan
terjadi esok hari?”. Dikarenakan curhat yang ku lakukan. Sehingga yang bisa
kulakukan hanya menyendiri.
Pernahkah kamu, duduk di kasur atau di sofa ruang tamu, seorang diri, lalu berbicara sendiri? Seolah-olah ada seseorang/dua orang/orang-orang yang bersamamu? Awalnya hanya mengobrol biasa, lalu mulai masuk pada hal yang sensitive sedikit demi sedikit dan sangat perlahan? Lalu tanpa disadari, kamu ternyata seorang yang banyak bicara, kemudian obrolanmu masuk pada inti dari permasalahan yang sudah kamu tahan lama, dan akhirnya kamu menangis sesenggukan, merasa seseorang/dua orang/orang-orang yang bersamamu merengkuhmu dan selesai? Begitu tangisanmu berhenti, kamu merasa lega, merasa bebanmu sudah hilang (sebagian/seluruhnya), kemudian melanjutkan hidupmu seperti tidak terjadi apa-apa.
Itulah yang sering –selama ini-
telah kulakukan. Karena hanya dengan begitu aku merasa aman, bahwa yang ku
ceritakan ini tidak akan terdengar ke telinga orang lain, siapapun itu.
Namun kini, aku mencoba menulis
kembali. Memang awalnya pribadi, tapi lama-lama aku ingin ada banyak genre
tulisan yang bisa ku selesaikan. Itu impiku. Menulis apa saja yang ingin ku
tulis, dengan bebas, tanpa bingung harus mulai dari mana, atau harus bertema
apa. Juga saat ini tulisanku memang seminggu sekali. Tapi ke depan, aku ingin
bisa menulis setiap hari. Walau jujur, menulis menjadi salah satu caraku
menceritakan semuanya sendiri. Agar tak terdengar orang lain, siapapun itu.
Jadi, pada akhirnya…… “Menyesalkah
aku?”
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
Ditulis #dirumahaja pada Rabu 15 April 2020 dan direvisi ulang seminggu setelahnya.
Rabu, 22 April 2020 – 29 Sya’ban
1441 H – jam 10.30 WIB, 2 setengah jam sebelum waktu UTS hari terakhir dan kuliah hari terakhir sebelum puasa ramadhan dimulai. J
Komentar
Posting Komentar