Aku yang Baper atau Harus Profesional?


Bismillah

Setelah sekian purnama absen dari kegiatan per-tulisan, akhirnya memberanikan diri mengambil langkah ini lagi. Meskipun awal yang sulit menjadi rintangan, karena sudah lupa bagaimana cara memulai tulisan, lupa bagaimana menyusun kata yang baik dan benar, lupa pertimbangan alur apa yang hendak dimulai. Dan inilah jadinya. Mengalir apa adanya, menjadikan lupa-lupa itu sebagai langkah demi langkah, menyusun setiap kata menghasilkan kalimat. Dan menyusun setiap kalimat menjadi paragraph. Juga menyusun setiap paragraph menjadi cerita. Bermodalkan cahaya layar laptop yang menerangi tuts keyboard, semoga bisa terus dan terus belajar apa itu menulis, bagaimana menulis yang baik, dan konsisten untuk mengembangkan skill menulis supaya terus lebih baik lagi. Akhir kata, semoga yang sudah meluangkan waktunya membaca kisah ini, dapat menikmati tulisan yang ada. Syukur-syukur bisa mengambil dan memetik satu-dua hikmah.

Aku yang Baper atau Harus Profesional?

Lagi, itu menjadi tamparan keras buatku. Entah berapa kali tamparan yang ku terima hari ini, dan ini adalah salah satu yang cukup keras –bagiku.

Siang itu jadwal ku kuliah seperti biasa. Karena sedang #dirumahaja, kegiatan perkuliahan hari ini –lagi- bergelut dengan handphone dan social media –platform yang aku dan kampusku gunakan untuk kuliah online adalah aplikasi WhatsApp. Seperti hari kuliah pada umumnya, mata kuliah jam pertama dimulai tepat pukul 13.00 WIB. Keterlambatan dosen dan mahasiswi bisa setengah sampai satu jam pada hari biasa. Namun di kuliah online ini tidak ada kata terlambat. Absensi di atas jam 14.00 dianggap tidak hadir.

Aku sudah duduk manis menunggu dosen kelasku hadir di grup kelas saat satu buah pesan masuk di obrolan grup lain. Masih grup kelasku, tapi di grup ini terdapat salah seorang koordinator terkait informasi keuangan dan nilai mahasiswi. Grup ini sengaja dibuat khusus untuk segala hal yang berkaitan dengan administrasi kampus (karena platform seperti website resmi kampus tidak bisa diandalkan mahasiswa/i, sehingga lebih memudahkan jika semua dipusatkan di WhatsApp).

Dalam pesan tersebut disampaikan bahwa belum ada satu mahasiswi dari kelasku yang sudah mendaftarkan diri untuk mengikuti UTS. Tak ayal, karena jam perkuliahan sama dengan jam operasional tata usaha, beberapa mahasiswi dari kelasku langsung merespon untuk mendaftarkan UTS. Pun denganku. Meski sempat ragu untuk mendaftar, kupikir untuk mencoba dulu lebih baik. Karena aku adalah satu dari sekian mahasiswi yang belum membayar uang semesteran. Di mana salah satu syarat untuk mengikuti UTS adalah melunasi 50% biaya administrasi pada semester berjalan dan melunasi seluruh biaya administrasi pada semester sebelumnya. Sedangkan aku, adalah 0,1 % dari seluruh mahasiswi yang sama sekali belum membayarkan biaya administrasi sejak awal menginjakkan kaki di kampus sebagai mahasiswi resmi.

Dan benar saja, begitu pesanku terkirim kepada bagian kuangan kampus, balasan yang ku terima adalah daftar syarat-syarat untuk mengikuti UTS. Aku diminta untuk mengirimkan foto bukti bayaran uang semesteran. Sempat bingung untuk membalas, aku mencoba dialog dan diskusi dengan teman sekelasku yang juga belum melunasi biaya administrasi 2 semester terakhir. Mendapat pencerahan, aku mencoba bertanya lagi kepada bagian keuangan, jika syarat-syarat tersebut belum terpenuhi.

Dan balasan yang kuterima sangat cepat menurutku.

Mohon maaf untuk saat ini kami belum menerima kebijakan terkait hal tersebut. Sementara ini kami hanya memprioritaskan mahasiswi yang sudah memenuhi syarat untuk mengikuti UTS terlebih dahulu.

Kurang lebih seperti itulah balasan yang ku terima. Ku balas dengan ucapan terima kasih sambil dalam hati berharap agar segera ada kebijakan. Tak lupa ku sampaikan juga kepada temanku, kurasa satu kelas kurang sebagian. Karena tanpa sadar, aku takut, kalau pada akhirnya aku tidak bisa mengikuti UTS.

Semesterku saat ini memang masih pertengahan. Semester 5. Tapi inilah awal perjuangan yang sesungguhnya. Rasanya bisa hancur semua jika akhirnya aku gagal di sini. Mengilas balik perjuanganku dari yang sempat kuliah satu tahun, lalu vacuum selama 2 tahun sebelum akhirnya kuliah lagi, dan mulai dari semester awal lagi, jika hancur sekarang, ah aku sungguh tidak ingin membayangkan hal yang tidak-tidak seperti itu. Bahkan sampai harus banting stir, ganti jurusan. Sampai sekarang, ibu masih belum paham apa alasanku bisa jadi ada di jurusan yang sekarang ini. Walau aku sendiri lebih enjoy dan tidak terlalu tertekan seperti satu tahun kuliah yang lalu.

Beberapa hari kemudian, kembali sebuah pesan masuk hadir di grup administrasi kampus –sebut saja begitu. Kali ini, laporan jumlah mahasiswi di kelasku yang sudah mendaftar. Ada beberapa, namun aku segera menuju nomor tata usaha kampus. Sesopan mungkin bahasa yang ku gunakan, ku tanyakan terkait kebijakan; sudah ada atau belum. Balasan awal yang ku terima belum ada kebijakan, katanya. Namun aku dengan kepribadian yang semuanya harus pasti agar tidak terjadi kesalah pahaman, kembali bertanya untuk sekedar memastikan. Hanya sekedar memastikan. Tapi jawaban yang ku terima cukup membuatku sedikit sakit hati. Langsung kubalas dengan permohonan maaf jika ada kata-kataku yang kurang berkenan dan ku screenshot. Saat itu yang terlintas dalam benak adalah aku ingin sebuah pembenaran di saat yang kulakukan sebenarnya adalah salah.

Ku posting (dengan ku edit terlebih dahulu), ke twitter dan story instagram. Dengan caption Kok galak? *emot sedih*. Namun di instagram, ku tambahkan polling. Option yang kubuat adalah ‘ah itu mah kamunya aja yang baper’ dan ‘Iya, kan?’ dengan hasil polling 14 vs 86.

Lalu salah seorang teman yang menurutku adalah teman terbaik membalasku lewat DM. Isinya seperti ini “kalau husnudzon-nya mungkin beliau lagi cape abis ada kerjaan atau yang lainnya jadi galak. Dan mungkin kebijakannya emang kayak gitu. Kalau suudzon-nya mungkin udah ngga mau ambil pusing. Mungkin”. Dan kalimat-kalimat inilah yang menamparku. Rasanya aku tidak ingin berprasangka apapun pada beliau. Sempat terbersit dalam hatiku, “seharusnya bisa dong urusan pribadi sama kerjaan dipisah. Yang mana, emosi itu kan urusan pribadi. Seharusnya beliau bisa dong professional di bidang kerjaannya.”

Namun apa yang selama ini sudah berlalu, beliau memang seperti itu. Terkenal kurang ramah kalau moodnya sedang tidak baik, atau sedang capek. Kalau pada hari biasa sebelum adanya Corona, perjalanan beliau dari rumah ke kampus memang sangat jauh, jadi beliau sering kelelahan saatnya jam kerja. Dan aku harusnya sudah memaklumi (?) sifat beliau yang memang sudah tersiar di kalangan mahasiswa/i-nya. Sehingga balasannya yang seperti itu, bukan salah beliau, tapi memang salahku.

Belum lagi, aku harusnya juga berkaca pada diriku sendiri. Bersitan hati yang harusnya kutepis jauh-jauh itu lebih pantas ku tunjukkan untuk diriku sendiri. Menerawang pada kejadian yang telah lalu, saat ada seseorang yang akhirnya salah paham dengan ucapanku, lalu seseorang tersebut ber-suudzon (ini sudah aku pastikan sendiri. Karena aku sangat tidak terima dengan perlakuannya kala itu. Seseorang itu menjawab iya, saat ku tanya apa beliau suudzon saat itu).

Maka profesionalitas itu sungguh tidak mudah. Tapi lebih tidak mudah lagi menjaga hati agar tidak sakit-menyakiti; entah itu menyakiti hati orang lain atau menyakiti hati sendiri dengan berprasangka. Kalau memang bahasa yang sopan lagi santun masih belum diterima, jangan langsung menghakimi. Coba lagi lain waktu, bisa jadi ada saat dimana kita akhirnya dipertemukan dengan kepribadiannya yang baik. Ini hanya soal masalah waktu, dan seberapa luas hatimu dalam menerima.

Di tengah pandemi saat ini, tentu yang dibebankan bukan hanya fisik tapi juga psikis. Fisik yang kata orang-orang sudah mulai lelah duduk atau bahkan rebahan santai selama karantina #dirumahaja. Dari yang awalnya hanya 2 minggu, terus berlanjut hingga hari ini diberlakukan PSBB di Jabodetabek. Entah sampai kapan pandemi ini akan berakhir, namun menenangkan fikiran agar tidak ikut terbawa beban yang namanya ‘stress’ itu sangat dibutuhkan.

Pada akhirnya, aku tidak bisa membuat kalimat penutup untuk ceritaku. Apa kesimpulan dan manfaat apa yang sebenarnya ingin aku bagikan, aku sendiri bingung. Tapi walau sedikit, semoga cerita pertama ini tidak ikut membingungkan seperti akhirnya. Semoga jelas apa yang sudah kusampaikan, biarlah diri masing-masing yang membaca, yang mengambil kesimpulan. Apapun itu.


Rasanya lega sekali bisa menumpahkan tinta-tinta di atas secarik kertas ini. Sekali lagi, semoga bisa terus belajar menjadi lebih baik, dan konsisten memperbaiki.



15 April 2020, dirumahaja jam 16.30 WIB. Ada tukang roti lewat. J

Tulisan ini ku dedikasikan untuk setoran pertamaku di #1minggu1cerita. Enjoy!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencoba Transportasi Umum di Masa Pandemi

Kisah Khidir dan Nabi Musa (Part 2)

Being an I GOT7♥