Sekolah adik, sekolah ummi dan sekolahku


Bismillah...

Mengkritisi sistem yang ada di sekolah, ada satu hal yang benar-benar membuat saya mengelus dada mendengarnya. Siang ini sepulang sekolah, adik laki-laki saya memberikan kabar soal kemungkinan adanya libur selama seminggu terhitung mulai minggu depan (10/04). Bagi saya yang mendengarnya langsung mengatakan bahwa kemungkinan libur tersebut adalah karena siswa/i kelas 9 akan melakukan UN atau Ujian Nasional. Apalagi jika mengingat berita tadi pagi soal hari pertama UN SMA/SMK/Sederajat (03/04) tentang Ujian berbasis komputer yang masih banyak memiliki kendala. Dan adik saya membenarkan jawaban saya tersebut sambil sedikit meralat dengan mengatakan bahwa hanya sekedar simulasi UN saja, karena prakteknya nanti akan sama persis seperti UN sebenarnya, yaitu dengan menggunakan komputer. Saat itu, orang tua saya yang juga turut mendengarkan, belum memberikan banyak komentar apa-apa.

Terlepas dari hari liburnya itu, adik saya kembali memberi kabar soal kemungkinan jalan-jalan akhir kelas 3 SMP nanti. Jalan-jalan perpisahan yang masih akan dilakukan setahun lagi bersama guru dan teman-temannya itu dicanangkan akan bertujuan ke Lampung dengan anggaran dana yang harus dibayarkan setiap siswa/i sebesar 2 juta rupiah per siswa/i. Hal ini sontak membuat kaget kedua orang tua saya. Perlahan mereka mulai menggerutu. Jelas ada nada tak suka pada setiap ucapan yang keluar dari mulut keduanya. Pun adik saya malah tetap bersikukuh bahwa itu sudah jadi "keputusan sekolah" yang -katanya- tidak dapat diprotes. Saya sendiri agak jengah juga mendengar biaya yang harus dibayarkan tersebut. Hanya ke Lampung sampai 2 juta, buat apa? Belum lagi, di Lampung ada apa? Kakak sepupu saya dulu saat perpisahan kelas 3 SMA berangkat ke Bali dengan anggaran 3 juta. Itu sudah tiket pesawat PP, makan, nginep di hotel. Dan saya yakin, semua yang membaca tulisan ini pun setuju bahwa 3 juta adalah harga yang pantas untuk sebuah pulau ternama, dan tereksotis seperti Bali. Namun ini ke Lampung? Dari Tangerang pula. 2 juta tentu harga yang fantastis. Terutama saat mendengar adik saya mengatakan mereka akan pergi ke Lampung dengan pesawat. Halo?!

Ah ya, adik saya kebetulan sekolah di SMP Negri. Bagi saya, biaya yang dikeluarkan untuk sekedar jalan-jalan bersama guru dan teman sekolah itu sejumlah dengan anggaran SPP gratis tiap siswa/i yang bersekolah di Negri. Bahkan kalau saya amati ulang, justru malah lebih besar dari biaya SPP/tahun jika dibayarkan. Dan karena alasan itulah ayah saya berkata, bahwa ada kemungkinan yang SANGAT BESAR mengenai adanya korupsi pada dana jalan-jalan yang dianggarkan. Meski tidak mengatakannya di depan ayah saya, namun dalam hati saya menyetujui adanya kemungkinan itu. Hal ini didasari pada agenda jalan-jalan yang dilakukan adik saya baru-baru ini.

Agenda ini sudah ada sejak adik saya duduk di akhir kelas 1 SMP. Atau menjelang kenaikan ke kelas 2. Pun dengan anggarannya yang digadang-gadang sebesar 500.000 tujuan Bandung. Namun saat itu -katanya- belum fix anggaran segitu. Masih ada kemungkinan naik atau turun. Tentu semua berharap akan turun. Namun dua bulan sebelum hari H sudah diputuskan bahwa dana yang harus dikeluarkan setiap murid adalah 500.000 tujuan Bandung dan tanpa menginap. Belum lagi tujuannya yang hanya ke satu tujuan, Saung Udjo. Saya meringis.

Bukan masalah besar uang yang harus dibayar (meski bagi orang tua saya, ini masalah terbesar). Namun yang menjadi fokus masalah saya adalah adanya indikasi "korupsi". Saya jadi teringat ada salah seorang teman ayah saya yang pernah mengatakan pada ayah saya sambil dengan nada bercanda "ya gitulah, di (SMP/SMA)Negri... Spp gratis tapi banyak bayar ini itu. Yang bulutangkis harus ke GORlah,  harus renanglah, digedein deh tuh uang masuknya. Harusnya sekian jadi sekian, lebih mahal. Belom lagi berangkat kudu naik angkot jama'ah. Keluar lagi dah tuh uang buat ongkos"

Dan seperti membenarkan pernyataan teman ayah saya, agenda jalan-jalan yang baru saja dilakukan adik saya seolah menjadi bukti. Entah kenapa, meski terbilang gratis, tapi banyak pengeluaran yang dilakukan oleh orang tua siswa/i untuk kegiatan putra-putri mereka di sekolah. Adapula guru (terutama wali kelas) yang membebankan para muridnya dengan uang kas kelas. Meski untuk hal uang kas ini, saya juga merasa memang perlu ada.

Kembali lagi ke kejadian siang menjelang sore itu, orangtua saya dengan jelas memprotes soal biaya jalan-jalan tersebut. Bagi mereka, membiayai adik saya ke Bandung saja sudah syukur. Tapi untuk harga 2juta, mereka rasa uang segitu lebih baik dipakai untuk kebutuhan rumah yang lain. Handphone yang sudah 2 sampai 3 tahun minta diganti saja belum kebeli.

Sebenarnya kalau adik saya memang benar mau ikut jalan-jalan, dia bisa saja menabung. Tapi setelah yang berlalu terjadi, ternyata cara menabung adik saya sangat tidak sehat. Dia menabung bukan dari uang jajan yang diberi oleh orang tua, tapi ia nabung dari uang yang dia pinta langsung. Sehari bisa dua hingga lima ribu. Memang lama-lama uang dia terkumpul banyak, namun uang orang tua yang banyak terkuras.

Setelah orang tua puas ngedumel soal biaya jalan-jalan yang supermahal, tiba-tiba ibunda saya tercinta mengomentari soal liburnya adik saya. Kata beliau, ngapain pake acara libur segala... Cuma simulasi UN doang. Bilang dong ama gurunya jangan kebanyakan libur...." Saya terhenyak.

Apa ummi lupa? Dulu liburku lebih banyak...?   

Dulu saat sekolah, liburku yang bisa bersama keluarga hanya sekali setahun. Biasanya diadakan tiap Ramadhan selama kurun waktu satu bulan (pernah 2 bulan). Namun sisa libur yang ku miliki semuanya berada di area Pondok/Asrama/Pesantren. Bahkan termasuk saat pembagian rapot semester 1 dan semester 2. Rasanya banyak sekali waktu yang dipakai untuk liburan. Meski terkadang saat yang lain menikmati libur Nasional, justru saya dan teman-teman malah sibuk di kelas. Tentu saja untuk belajar. Pun dengan libur TO atau simulasi UN, biasanya akan ada kegiatan yang sudah disiapkan oleh pihak pondok bekerjasama dengan OSIS. Nantinya akan diadakan camping, kegiatan outbound atau outing class.

Namun perbedaan libur sekolah antara Negri dan Swasta mulai terasa saat saya menjajal sendiri rasanya bangku SMA. Rasa libur yang meski banyak tapi hanya sehari-dua hari, kadang malah jadi tidak terasa liburnya karena dipakai untuk mengerjakan tugas yang segambreng. Namun ada hal yang menarik mengenai sekolah ummi. Ada satu hal yang terkadang menjadi pembanding antara sekolah Negri masa saya dan zaman ummi. Entah benar atau tidak, namun pernah suatu waktu saya maraton mengerjakan tugas kelompok selama rentang waktu hampir satu bulan. Terkadang dua sampai tiga kali seminggu saya akan pergi ke rumah teman, atau terlambat pulang ke rumah (biasanya jam 5 sore udah sampai rumah. Tapi kalau ada tugas, bisa sampai jam 7 malam). Awal waktu, ummi masih belum banyak protes, tapi belakangan ummi akhirnya buka mulut juga,

kakak tuh apaan, sih. masa tugas kelompok mulu. dulu ummi SMA ga gitu banget tugasnya. Bilang sama gurunya bla... bla... blaaa... -Saya tidak begitu ingat, karena sudah lebih dari 4 tahun.-

Pada akhirnya, semua seperti harus kembali pada masa sekolah ummi. Dulu sekolah ummi mah begini, dulu sekolah ummi mah begitu. Meski tidak ada hal yang sama persis di dunia ini. Tapi dari sini aku belajar jika suatu hari nanti aku punya anak, dan anakku sekolah, maka sebisa  mungkin aku harus tau seperti apa kondisi kehidupan pada masa itu yang tentu saja berbeda. Jika memang nanti ada perbandingan, tidak melulu harus digembar-gemborkan. Biar saja menjadi kenangan. (saat menulis ini saya baru sadar, mungkin saja ummi berfikir demikian; membagi kenangan jaman sekolah dulu pada anak-anaknya. Namun karena ummi memiliki emosional yang kurang stabil, terkadang ummi menceritakannya di waktu ummi sedang tinggi emosinya.)

Setelah tulisan yang saya biarkan mengalir apa adanya ini (tanpa saya edit dan belum saya baca ulang) saya yakin tulisan ini sudah melompat kemana-mana tanpa alur dan tujuan yang jelas. Tapi akhir kata saya mau menyimpulkan

Saya menghormati apapun kebijakan yang diterapkan di setiap tempat pendidikan, namun jika saya harus memilih saya lebih rela tidak ikut pergi jalan-jalan jika biaya yang harus dikeluarkan tidak masuk akal dan membuat banyak praduga di sana-sini. Meski itu bersama teman-teman dan guru saya karena bagi saya setiap hari saat sekolah, saya sudah bersama mereka, siapapun itu, dan ada saja kenangan yang terukir bersama mereka, baik suka maupun duka. Sedangkan saat jalan-jalan, terkadang teman yang ini hanya dengan golongan ini, dan teman yang itu hanya dengan golongan itu, jadi tidak terasa bersamanya. Sayang kan, uangnya?


Tulisan ini saya persembahkan untuk #minggu11 #1minggu1cerita 

Komentar

  1. Saya juga paling ga suka sama yang mahal2..yang ga mampu memang bisa tidak ikut, tapi kesenjangannya akan terlihat jelas 😡

    Tatat

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

When Your Family is Your 'Haters'

Ketika "Lupa" pada Tugas dan Kewajiban

Mencoba Transportasi Umum di Masa Pandemi