Dalam nama, terselip doa dan harapan❤

"Assalamu'alaikum, sayaang... Aku pulang, nih. Kamu di manaa?"

    Seperti biasa di setiap malam menjelang, suara berat yang berwibawa namun tetap penuh kehangatan, meramaikan rumah yang sepi di siang hari. Entah itu sebagai pengalih rasa lelah yang mendera setelah bekerja seharian, atau memang sudah jadi kebiasaan yang acap kali dilakukan sejak sebelum menikah. Dari cerita yang kudengar melalui keluarga terdekatnya, keramahan dan kelembutannya memperlakukan seseorang yang amat disayanginya kerap menjadi rutinitas yang tiada bosan dilakukan. Termasuk gayanya barusan, saat baru saja memasuki rumah, pulang dari kantornya.
    Begitulah ia, suamiku. Bagiku, kehangatannya, serta segala kebaikan yang ada dalam pribadinyalah yang setiap hari –sejak kami menikah– semakin membuatku jatuh cinta padanya. Rasanya, cinta yang baru selalu hadir kala ia juga hadir membawa dan memberikan cintanya itu untukku. Sehingga cinta yang terasa baru itu, membuatku bahagia hingga esok harinya. Bahkan kadang membuatku tenang, dan percaya padanya saat ia hendak meninggalkanku untuk bekerja. Tak pernah seharipun rasa khawatir –ia akan selingkuh, misalnya– hadir dalam pagiku.
    Aku yang baru saja selesai melipat mukena usai sholat isya, segera menghampirinya dengan senyum yang hangat. Tak sulit membalas kehangatannya, jika cinta telah sampai pada hati yang selalu merindukan. Tak lupa mencium punggung tangannya, juga pipinya. Bagi kami, hal-hal yang terlihat tak istimewa ini harus dimanfaatkan menjadi bagian kecil yang akan mengharmoniskan hubungan kami. Suami yang bekerja siang hari, 9 jam sehari (jika tidak lembur). Karena itulah komunikasi kami di siang hari kadang tidak seintensif di malam hari. Maka atas inisiatif suamiku, meski lelah asal bahagia, momen sejak ia pulang hingga tidur, dan kemudian bangun lagi menjadi waktu di mana kehangatan dicipta, dirasa, dan diimplementasikan.
 
"Aku bawa buah naga hari ini. Mau dibikin jus?" tanyanya dengan tangan memberiku sebuah plastik berukuran sedang berisi buah naga.

"Ngga usah, dipotong-potong dadu aja trus langsung dimakan. Sebentar aku ke dapur dulu ngupas buahnya. Kamu istirahat dulu, duduk di sini (sofa), oia sekalian aku ambil dulu minumannya."

    Aku langsung berjalan menuju dapur setelah menyelesaikan ucapanku. Tak perlu menunggu balasan ucapannya, karena kalau sudah begitu, qtime kami untuk mengobrol akan berkurang. Maklum saja, sifatku dan sifatnya tak jauh beda kalau soal mengobrol. Sama-sama cerewet dan bawel banget. Selalu ada hal yang dibicarakan. Bahkan untuk hal-hal yang sudah pernah dibahas lebih dari sekali. Untuk itu, menghentikan obrolan untuk disimpan dan disampaikan saat waktunya mengobrol tiba, adalah hal yang perlu ku manage dengan baik.
    Tak perlu terlalu lama membiarkannya sendirian, aku sudah muncul dari arah dapur dengan membawa segelas susu fullcream hangat dan piring dengan potongan buah naga dan yang selalu menjadi buah favorit kami (setiap hari harus ada buah ini) yaitu buah apel. Meski masih agak kerepotan, namun aku sedikit mulai terbiasa. Sehingga waktu yang digunakan untuk menyiapkan hal tersebut tidak selama saat baru pertama kali menikah karena aku masih harus menyesuaikan diri.
 
"Yeyyy...! Mana siniin, susunya."

    Suamiku yang tadinya tengah rileks bersandar pada sofa sambil menutupkan kedua matanya, langsung bangkit semangat begitu (mungkin) mendengar suaraku mendekatinya. Dan untuk susu hangat, itu memang permintaannya dulu saat di awal-awal menikah. Katanya ia terbiasa minum susu jika sedang merasa lelah. Katanya juga, bedanya dulu kalau dia minum susu langsung beli yang kemasan siap minum, tapi sekarang karena sudah ada yang memiliki waktu untuk menyiapkannya, maka ia ingin seseorang itu yang menyiapkannya. Memang saat kecil, mama nya lah yang biasa menyiapkan susu untuknya. Menjelang dewasa, ia mulai malu jika harus dibikinkan susu oleh mamanya (kecuali saat ia pernah suatu waktu jatuh sakit, dan susu kemasan siap minum tidak begitu memberinya efek. Ketika mamanya yang membuatkannya untuknya, esoknya badannya sudah segar seperti ia tidak sakit sebelumnya).
    Ku taruh gelas di atas meja di hadapannya. Sedang piring ku taruh di sebelah gelasnya. Sebelum aku duduk di sampingnya, ku ambil tas kerja, dasi dan jasnya kemudian menaruhnya di kamar. Begitu kembali, susu yang ada dalam gelas belum berkurang alias masih utuh. Potongan buahnya pun seperti tidak tersentuh. Ku tempelkan telapak tanganku di bahunya pelan sambil sesekali ku usap bahunya. Aku hanya memandanginya yang sedang menatap kosong ke arah gelasnya.
 
"Ada apa, yang?" tanyaku melihatnya tak kunjung bergeming. Ia menoleh sambil tersenyum.

"Aku ngantuk, hehe" jawabnya sambil tertawa kecil, menutupi rasa kantuk dan malu yang bercampur.

    Ku tarik tangannya perlahan, mengisyaratkan untuk merebahkan kepalanya pada pundakku dan ia menurut. Ku tanya padanya kalau-kalau ia ingin dipijit. Tapi ia hanya menggeleng dan bilang bahwa ia benar-benar lelah dan mengantuk. Ku ambil gelas di atas meja dengan gerakan hati-hati. Memberinya perlahan ke mulutnya untuk diminum sedikit demi sedikit. Meski sempat menolak dengan tidak membuka mulutnya, akhirnya ia tergiur juga begitu mencium bau susu yang ada tepat di depan hidungnya. Setelah tersisa setengah gelas, kubiarkan sesaat suamiku untuk beristirahat. Aku yakin sekali, ada hal lain di luar pekerjaan yang membuatnya selelah ini. Dan seperti biasa, kami pasti akan membahasnya malam itu atau keesokan paginya. Karena tipe suamiku yang tidak bisa memendam semuanya sendiri. Dan baginya, komunikasi itu sangatlah penting (bagiku juga).
    Setelah hampir setengah jam membiarkannya bersandar padaku, ku usap rambutnya seraya berbisik pelan di telinganya,
 
"Bangun dulu yuk, yang.. Mandi dulu, aku siapin air hangat nya yaa.."

    Tak ada respon. Sepertinya karena terlalu lelah atau karena terlalu nyaman bersandar padaku, ia tertidur lelap. Meski tak tega membangunkannya, namun aku harus. Mengingat seharian ini ia sudah banyak bekerja, sehingga perlu berganti baju dan membersihkan diri. Ku tepuk pipinya pelan beberapa kali, ku ciumi keningnya, akhirnya ia mengerjapkan matanya pertanda kesadarannya mulai pulih. Ia bangkit dari rebahnya dengan masih terlihat mengantuk berat. Menatapku sayu, membuatku merasa geli melihat tampang layunya yang lucu. Seperti melihat anak kecil baru bangun tidur, menggemaskan.😆
 
"Sayang, jam berapa sekarang?" tanyanya setelah suasana hening sejenak.

"Jam setengah 9. Mandi dulu yaa? Aku siapin air hangatnya..." kataku seraya bangkit. Namun ketika hendak melangkah, ia mencegahku.

"Gausah pake air hangat. Biar aku langsung mandi aja. Handuknya mana?" ia juga bangkit sambil melangkah menuju kamar mandi. Kuikuti langkahnya setelah mengambil handuk dari tempat jemuran. Kemudian aku ke kamar menyiapkan baju gantinya.

–––——–––––––––––––––––––––
    Setelah suamiku selesai mandi dan bergantian pakaian, kami duduk-duduk santai di teras belakang rumah. Rumah kami, kami buat sengaja disisakan halaman belakang meski kecil namun ditumbuhi beberapa bunga yang membuatnya indah dan nyaman. Ditemani susu suamiku yang tadi belum habis, dan juga piring buah yang belum tersentuh buahnya. Sedangkan aku hanya ingin menemaninya. Merasa tidak perlu minum atau makanan.

"Mau makan malam?" tawarku. Ia menggeleng.

"Daritadi nawarin makan aja, aku lagi ga mau makan, say... Ga laper. Besok aja deh ya, pas sarapan... Lagian ini udah ada buah loh, ada susu juga. Udah cukup ngenyangin..." jawabnya sambil menatapku. Meyakinkanku kalau ia memang tidak ingin makan. Aku mengangguk mengiyakan.

"Kalau laper, bilang aja. Nanti aku yang siapin..." kataku mengalah, tak lagi menawarkan makan. Kali ini ia yang mengangguk.
    Kalau aku, tak perlu ditawarkan pun memang tidak makan malam. Itu sudah komitmenku sejak sebelum menikah. Buat tubuhku yang mudah melar jika makan berlebihan, menahan untuk tidak makan malam adalah solusi yang bisa kuusahakan. Dibandingkan diet aneh-aneh seperi karbo, mayo atau apalah-apalah. Toh juga kegiatan malam tidak seberat di siang hari. Dan aku juga terbiasa sarapan, untuk memenuhi keinginan perutku yang lapar semalam.

––––––––––––––––––––––––
"Aku berangkat dulu, ya... Jaga diri baik-baik di rumah. Assalamu'alaikum..."

    Suamiku pamit pergi kerja seperti biasa. Tak lupa ku cium pipi dan punggung tangannya, sedangkan ia mencium keningku. Ku antar sampai pintu depan, setelah itu ia yang akan membuka sendiri gerbangnya, mengeluarkan mobil, dan menutup gerbangnya kembali. Ini komitmen awal sejak ia menikah. Alasannya? Ia hanya tak ingin merepotkanku, katanya. Tapi aku tau ada alasan lain yang tak ia sebut. Karena pernah suatu hari di awal pernikahan kami, aku berbaik hati membukakan gerbang untuknya. Namun ia sama sekali tidak tersenyum , tidak berterima kasih. Ia bilang tidak meridhoi apa yang aku lakukan, sampai aku meminta maaf dan berjanji takkan melakukannya lagi. Akhirnya aku meminta maaf dan berjanji padanya. Begitulah yang terjadi hingga hari ini. Rutinitas itu, selalu menjadi bagian suamiku menjelang kerja.
    Jam setengah 11 siang, beberapa mobil datang dan berhenti di depan gerbang rumahku. Dari derunya, ku perkirakan sekitar 3 sampai 5 mobil. Ku intip dari jendela, beberapa orang laki-laki keluar dari mobil dan terlihat berbincang sejenak. Aku tak berpikir, bahwa mereka hendak bertamu ke rumahku.
    Bel yang berada tepat di samping gerbang beberapa kali dipencet. Aku malah kelimpungan sendiri memakai jubah, hijab dan kaos kaki untuk menemui mereka. Selang sepuluh menit, aku sudah berdiri di gerbang menanyakan ihwal kedatangan mereka. Kalau dilihat, setelan mereka layaknya pekerja kantoran. Bukan PNS. Diperhatikan lagi, beberapa dari mereka menggantung ID Card mereka di saku jas, dan model ID tersebut sama dengan ID yang digunakan oleh suamiku.

"Kami dari perusahaan suami ibu, hendak menyampaikan beberapa berkas yang dikirim oleh suami ibu..." jelas bapak paruh baya, yang berpenampilan klimis.

"Boleh kami masuk?" tanya seseorang yang terlihat lebih muda.
 
    Aku menolak. Ku jelaskan bahwa aku tidak terbiasa menerima tamu laki-laki di rumah, terlebih dengan jumlah banyak tanpa suami di rumah. Mereka faham, dan seseorang langsung tergesa keluar. Tak lama, ia kembali dengan beberapa pegawai wanita.

"Kalo sekarang, boleh kami masuk?" tanyanya. Aku hanya bisa mengangguk dan mempersilahkan beberapa dari mereka masuk. Karena ruang tamu rumah yang tidak terlalu besar.

"Sebentar saya siapkan minum dulu" kataku hendak menuju dapur. Namun bapak klimis tadi melarang. Mengatakan bahwa mereka tidak lama.

"Ini berkasnya, bu. Silahkan dilihat, dulu" bapak klimis tersebut memberiku sebuah amplop cokelat.
 
    Ku buka perlahan, ada beberapa kertas yang sudah di streples secara terpisah. Ku keluarkan satu buah, kemudian ku baca perlahan. Dengan rasa bingung, bertanya-tanya berkas apakah gerangan.
    Ku tutup mulutku penuh keterkejutan. Belum habis ku baca, air mataku mengalir. Ini ternyata alasan semalaman ia terlihat lelah seperti habis melakukan sesuatu yang berat. Meski ia tak membahasnya karena langsung terlelap. Pun paginya ia juga tak kunjung membahas hingga berangkat kerja. Ternyata justru dengan lembaran-lembaran kertas ini menjawab semuanya. Ku keluarkan lagi beberapa kertas dari amplop, dan semakin mengalir saja air mataku. Terisak-isak kubaca kertas-kertas itu.

"Suami ibu sengaja mengutus kami, bahkan sampai menyuruh kami membawa beberapa pegawai wanita karena beliau tau ibu tidak akan membiarkan kami masuk. Meski suami ibu mengatakan untuk menahan pegawai wanita sejenak, untuk mengetahui apa ibu akan mempersilahkan kami masuk atau tidak." bapak klimis tadi berkata setelah melihatku cukup tenang. Padahal sekuat tenaga ku tahan air mataku agar tak lagi mengalir deras.

    Ku tatap satu persatu perwakilan yang hadir atas suruhan suamiku itu. Sebisa mungkin ku pancarkan rasa terima kasih atas bantuan mereka semua. Ku layangkan binar mata penuh kebahagiaan, bersyukur mereka telah menjadi kaki tangan yang baik untuk suamiku, bahkan mereka juga tangan kanan yang penuh kepercayaan suamiku. Rasanya sulit sekali mengatakannya pada mereka. Mulut terasa berat sekali mengucap, tapi dalam hati semoga mereka mengerti bahwa aku bersyukur dan berterima kasih.

"Kalau begitu, kami permisi pamit dulu, bu." bapak klimis yang menjadi perwakilan dan juru bicara dari semua yang hadir bangkit hendak undur diri.

"Te.. rima.. kas.. siih.. juga yya.. pak. M..maaf sudah repot datang..."kataku terbata seraya ikut bangkit hendak mengantar mereka keluar.

"Biar kami saja yang menutup gerbangnya, bu. Tidak apa, ini pesan suami ibu..." yang muda kini angkat bicara. Aku menunduk hormat, berterima kasih.

"Oia, sampaikan salamku untuk suamiku ya. Sampaikan terima kasih..." kataku saat mereka sudah keluar menuju teras.

"Itu bisa ibu sampaikan sendiri nanti, tapi baiklah. Nanti akan kami sampaikan." jawab bapak klimis, kemudian menutup pintu. Ku lihat dari jendela, satu persatu dari mereka keluar gerbang. Hingga orang terakhir, ia menutup gerbangnya.
 
    Masih dengan perasaan yang tercampur, ku baca ulang lembar kertas yang pertama kali ku ambil dan ku baca. Ku baca ulang,asih dengan aliran air mata, namun tidak sederas saat yang pertama.
 
    Untuk istriku...
    Terima kasih telah bersedia menjadi istriku. Aku tau dan yakin, bahwa kau adalah bidadari yang pantas untuk mendampingi hari-hariku. Aku bersyukur, karena kalau bukan kau, aku tidak tahu apakah aku akan merasa sebahagia ini. Ini adalah apa yang pernah terjadi beberapa bulan lalu padaku, saat aku hendak mempersuntingmu.
    Saat itu, mama baru pulang pengajian. Kalau tidak salah, itu adalah hari ke tujuh atau seminggu setelah aku menyampaikan niatku untuk menikah. Mama menyapaku, mengajakku berbicara empat mata. Ya kamu tentu tau, papaku sudah tak lagi ada. Sehingga mama harus sendiri mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan anaknya. Termasuk saat ia harus memutuskan untuk setuju atau tidak atas niatku. Tapi dalam perbincangan empat mata itu, mama mengatakan beberapa hal yang mengguncang hatiku, pilu.

"Fatih, mama mengatakan ini sebagai perempuan yang telah kehilangan laki-laki yang sangat dicintainya. Mohon dengarkan dengan baik, bila perlu diingat dan diresapi..."

"Fatih, dulu aku pernah merasa begitu tergila-gila pada orang yang ku cinta sekaligus orang yang mencintaiku. Ia pun demikian halnya, tak mau lama berpisah saking begitu cintanya. Kami memadu kasih dalam ikatan pacaran. Sebulan lamanya hingga akhirnya kekasihku datang melamar ke rumah. Aku yang mabuk akan perasaan mencintai dan dicintai, tanpa pikir panjang menerima lamarannya. 6 bulan kemudian kami akhirnya menikah. Tak lama berselang, aku hamil anak pertama kami. Suamiku begitu perhatian dan menyayangi kami, istri dan calon buah hatinya. Hingga setahun pernikahan kami dirayakan sambil syukuran atas lahirnya anak pertama. Nikmat yang sungguh membuat kami sangat bahagia hingga lupa bahwa saat datang bahagia, bisa jadi kesedihan tengah datang beriringan.
Dan benar saja. Empat bulan setelah anak pertamaku lahir, ah iya namanya adalah Rizky, ia bayi yang sangat lucu dan menggemaskan. Namun siapa kira, jika bayi lucu itu harus bernasib malang. Setelah empat bulan ia hidup di dunia, ia mengalami sakit panas selama hampir satu minggu. Panas yang tidak turun meski diberi obat penurun panas. Puncaknya saat malam itu, jam sebelas, Rizky kejang-kejang. Dia step. Aku dan suamiku panik saat itu. Buru-buru kami pergi ke rumah sakit mengendarai sepeda motor, namun kami terlambat. Sampai di rumah sakit, Rizky sudah meninggal. Dokter bilang, ia meninggal di perjalanan.
Menyembuhkan rasa keterpurukan kami, selama setahun kami sibuk bekerja. Soal anak tak lagi kami pikirkan. Saat itu, aku berfikir untuk apa diberi anak jika ia kemudian diambil lagi dalam waktu singkat. Sehingga aku enggan melayani suamiku, yang sebagai laki-laki normal tentu memiliki hasrat untuk disalurkan. Selain memang suamiku masih ingin memiliki anak dari pernikahannya denganku.
Setahun berikutnya penuh dengan waktu-waktu sulit dimana suamiku terus sabar membujukku untuk melakukan hubungan intim. Meski aku berkali-kali menolak padahal dia sudah berjanji setulus hati tidak akan menumpahkan spermanya dalam rahimku. Namun aku dengan tega membiarkannya, tidak melayaninya selama dua tahun lamanya.
Aku masih trauma, pikirku. Cinta yang dulu terasa memabukkan perasaanku perlahan mulai pudar. Hingga akhirnya, suamiku selingkuh. Benar. Mana ada laki-laki yang tahan punya istri tapi tidak melayaninya di ranjang. Dua tahun berturut-turut pula. Awalnya adalah ketika hari pernikahan kami yang ke-tiga tahun. Ia bilang tidak akan pulang karena ada lembur, dan aku percaya saja. Ternyata ia merayakan hari tersebut dengan wanita baru. Pelepas hasrat seksualnya.
Satu bulan, hanya satu bulan suamiku bertahan selingkuh. Setelahnya, ia tidak lagi melakukan perbuatan zina tersebut. Namun ada yang janggal kurasa sejak hari itu. Ia tak lagi memintaku untuk melayaninya. Awalnya aku kira dia sudah berhenti, menyerah untuk mencintaiku atau memintaku mencintainya. Tapi ternyata ada alasan lain. Bukan soal melepas hasrat seksualnya begitu saja, tapi lebih pada keinginannya memiliki anak. Untuk itu ia berhenti selingkuh, atau memintaku melayaninya. Kini ia sibuk mencari anak dari satu panti asuhan ke panti asuhan yang lain.
Ia cari yang benar-benar baru lahir beberapa hari atau beberapa minggu. Ia cari yang laki-laki sebagai pengganti Rizky. Ia lihat keseluruhan calon anaknya tersebut, dari ciri-ciri hingga tanda yang membuatnya akan selalu dapat mengenali anaknya tersebut. Ia cari yang pendiam, tidak rewel, tidak banyak tingkah, persis seperti Rizky. Ternyata ia sama menderitanya denganku sejak kepergian Rizky.
Yang tak kusangka adalah rasa memendamnya yang kuat, sehingga aku sama sekali tidak tahu apa yang tengah dirasakannya. Mungkin ia tegar, menerima kenyataan akan kepergian Rizky, namun ia juga terpukul. Hingga berkali-kali ingin membuat anak yang seperti Rizky, namun aku sebagai istrinya menolak. Sedang selingkuhannya hanya menikmati permainan mereka tanpa niat untuk memberikan suamiku keturunan meski dari jalur yang haram. Padahal semua biaya akan ditanggung oleh suamiku.
Puncaknya, suamiku bertobat. Ia banyak berdoa agar aku dibuka pintu hatinya untuk berbakti pada suami. Berkali-kali pada suatu malam ia menangis pilu. Meminta istri dan keturunan yang baik akhlaknya, serta meminta maaf atas khilafnya dulu. Aku awalnya tak tahu menahu soal perselingkuhan suamiku, namun di akhir ajalnya, ia jujur dan terbuka akan semua rahasia yang dipendamnya. Membuatku sakit hati, dan banyak meminta maaf dan ridhonya. Tak masalah bagiku soal perselingkuhan itu, yang penting suamiku sudah menyadarinya dan sudah bertobat tak melakukannya lagi. Sedang aku, malah baru meminta maafnya di ujung terakhir waktunya hidup di dunia.
Beberapa kali mendengar tangisan dan doa malam suamiku, hatiku tergerak. Hingga suatu malam aku bangkit menghampirinya. Ku rengkuh bahunya, memeluk penuh kehangatan, mencium punggung tangannya dan mengatakan bersedia memberinya keturunan lagi sebanyak yang ia mau dan Allah kasih. Bersedia mendidik mereka menjadi seperti harapannya. Bersedia ikhlas untuk kepergian Rizky, dan bersedia ikhlas jika anak yang diberi nanti akan bernasib sama seperti Rizky.
Namun malam itu, suami tak menyentuhku sama sekali. Melainkan kami berbincang lama menunggu waktu subuh. Ia tidak melanjutkan solat malamnya, dan tidak mengajak atau menyuruhku untuk solat malam juga. Namun ia justru mengajakku berbincang lama. Menanyakan kenapa aku tiba-tiba melakukan hal dan berkata seperti tadi, menanyakan bagaimana perasaanku saat ini. Menanyakan rasa cintaku yang masih ada sisakah, atau sudah meredup sama sekali, dan banyak sekali hal yang dibincangkan.
"Kalau nanti kita punya anak lagi, mau dikasih nama siapa?" tanyanya tiba-tiba. Aku mengernyit berpikir keras. Dulu, saat menamai Rizky, pertimbangan kami adalah karena ia anak pertama kami, yang mana merupakan rizky dari Allah pada pernikahan kami. Dan awal dari segala rizky yang hadir dalam kehidupan kami. Toh, anak adalah sumber rezeki katanya. Itulah salah satu alasan, hingga akhirnya kami memilih nama Rizky. Tapi sekarang, apa harapan kami jika Allah anugerahkan kami anak selain Rizky? Ah, tiba-tiba aku teringat. Akan perasaan hangat yang dialirkan suamiku dari setiap bait doa pada doa malam yang dipanjatkannya beberapa malam ini. Doa yang hangat, mengetuk pintuku yang sekian lama tertutup. Aliran kehangatan yang mau tak mau membuatku akhirnya mengalah, dan membukakannya. Fatih. Ya, aku akan menamainya Fatih.
"Fatih," jawabku setelah berfikir demikian lama. "Kenapa Fatih? Kamu ingin anak laki-laki lagi?" tanya suamiku setelah mendengar jawabanku.
Aku tercenung, seperti merasa salah langkah. Pertanyaan  'kenapa Fatih' terus menggema di relung hatiku. Sibuk mencari jawaban, tanpa sadar sudah waktu subuh. Suamiku pergi ke masjid sedangkan aku solat di rumah.
Dalam solat, pertanyaan itu tak kunjung hilang. Semakin dipikir, akhirnya aku menemukan jawaban yang kuinginkan.
"Bukan soal laki-laki atau perempuan, namun dalam setiap nama ada sebaris doa dan harapan yang tersemat di dalamnya. Jika memang nanti anak itu perempuan, tak masalah diberi nama Fatih, tapi kita akan melengkapinya dengan nama perempuan sesuai dengan dirinya. Seperti, Fatimah Al-Fatih..."

    Begitulah yang terjadi istriku. Kisah mamaku, dan aku, suamimu bahkan sebelum aku lahir. Setelah menceritakan hal tersebut, mama berkata,
    "Calon istrimu, namanya Sholehah kan? Tentu orang tuanya berdoa dan berharap akan hal yang sama untuk dirinya sebagai perempuan, agar kelak ia menjadi sholehah. Menyandingkanmu dengannya menurut mama adalah suatu pilihan bijak, selain mama lihat juga kepribadian dan akhlaknya yang baik. Jauh dari akhlak mama dulu saat sebelum memilikimu. Jadi Fatih, jaga dan lindungi Sholehah. Perlakukan dia sebagai permaisuri, seperti kamu memperlakukan mama seperti seorang Ratu. Putra mahkota tentu tau bagaimana adab dan sikap yang baik pada orang yang dicintainya, bukan?"
    Untuk itulah, aku tak ingin melihatmu selayaknya ART, karena kamu adalah permaisuri dari seorang Putra mahkota. Untuk itulah, selalu ada bahagia bila menjumpaimu meski rasanya lelah, sakit, bahkan marah sekalipun. Untuk itulah ku hadiahkan ibadah umroh ini untukmu, untuk mama dan untuk kedua orang tuamu. Kita akan pergi layaknya Raja Salman berplesir ke Bali bersama 10 Mentri dan 25 pangeran.
Mungkin ini terlihat tiba-tiba untukmu, namun aku sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Niatku ingin mengajakmu honey moon, tapi ah tidak usahlah ya. Kita honey moon di rumah setiap hari aja😍
I love you, my princess, my wife, mother of my sons❤
Hope you'll be happy, happy and happy. Happy with me, and we'll happy together😍
Semoga setelah umroh ini, kita juga bisa pergi haji sama-sama ya Sholehahku❤😍

––––––––––––––––––––––––

Tulisan ini kupersembahkan untuk #mingguke-7 #1minggu1cerita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

When Your Family is Your 'Haters'

Ketika "Lupa" pada Tugas dan Kewajiban

Mencoba Transportasi Umum di Masa Pandemi