Vaksin Experience
Selamat Membaca~~~
Vaksin Experience:
D-2
Pertengahan bulan Juli tahun 2021 menjadi waktu dimana
kegiatan ibadah umat Islam meningkat secara intens. Hal tersebut lantaran
masuknya awal bulan ke dua belas dalam kalender hijriyyah. Menandakan hari
perayaan umat islam –selain hari raya Idul Fitri seusai Ramadhan, akan segera
tiba.
Dalam banyak riwayat hadits, disebutkan keutamaan
untuk berpuasa di 9 hari pertama bulan Dzul Hijjah. Dan terutamanya adalah puasa di tanggal 9 Dzul Hijjah
yang biasa disebut dengan puasa Arafah. Sehingga banyak orang
muslim yang berbondong-bondong menunaikan ibadah tersebut. Mengambil momentum
sebaik-baiknya meningkatkan kualitas diri dan mendekatkan diri kepada Allah,
Rabb semesta alam.
Sama denganku. Meskipun tidak beruturut-turut berpuasa
selama 9
hari,
tapi aku berusaha untuk berpuasa. Termasuk di hari ke-5 awal bulan Dzul Hijjah.
Saat siang beberapa waktu setelah adzan dzuhur
berkumandang, suara ibu memanggil terdengar. Begitu ku sahut, “Kak, lagi
puasa?” tanya ibu.
Kujawab “iya.”. “Emang kenapa?” lanjutku bertanya yang
tidak dijawab oleh ibu.
Malamnya, ibu kembali memanggil. Meminta dipijit.
Setelah sekitar 15 menit dipijit, ibu berkata,
“Kak, besok vaksin ya. Di Holywings. Tapi ngantrinya
udah dari jam 6”. Aku hanya menyimak sambil terus memijit ibu.
“Nanti dari rumah jam setengah 6. Sarapan dulu sebelum
berangkat.” Lanjut ibu.
“Ga kepagian kan, kak?” tanya ibu.
“Nggak kok, bu. Kan lebih cepat lebih baik. Jangan
nunggu jam 6 banget.” Jawabku.
“Tadi Kayla udah divaksin duluan deket kelurahan. Ibu
mau nyuruh kamu juga tapi kamu lagi puasa.” Kata ibu.
“Besok sama Irfan juga ke sananya.” Lanjut ibu.
“Emang Irfan belum, bu?” tanyaku bingung.
“Kan puasa juga sama kamu.” Jawab ibu yang ku balas
kekehan karena lupa dia juga puasa bareng aku.
Ibu juga memberiku beberapa informasi terkait
pendaftaran untuk vaksinasi esok. Bisa datang langsung, tapi coba hubungi
kontaknya dulu saja, begitu pesan ibu. Ibu sendiri mendapat info vaksin
dari status WhatsApp tetangga di daerah rumahku. Aku menghubungi nomor yang
diberikan ibu, dan mendapat balasan untuk langsung datang dan mendaftar di
tempat (atau disebut walk-in).
D-1
Jam sudah menunjukkan pukul setengah 6. Aku baru
selesai mandi dan sedang bersiap-siap. Selesai berpakaian rapi, aku turun ke
bawah. Ku lihat di dapur tidak ada makanan. Aku juga tidak nafsu makan. Jadi ku
abaikan sarapan pagi dan siap berangkat mengantri vaksin. Saat tiba-tiba...
“Kakak, sarapan dulu. Masak mie. Kalo mau divaksin itu
perutnya ga boleh kosong.” Omelan ibu di pagi hari mulai terdengar. Mau bilang
tidak lapar, tapi takut malah semakin lebar omongannya. Akhirnya aku langsung
memasak mie.
Sedangkan adikku masih asik main handphone.
“Irfan, siap-siap!” perintahku. Namun mukanya langsung
berubah cemberut.
Dengan malas ia berkata, “emang harus jam 6 banget?”
Pasrah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi dengan
Irfan. Kalau sudah tidak mood, jadi tidak bisa diajak nego. Karena dia hanya
akan menurut kalau sudah ayah atau ibu yang memerintah.
Jam 6 lewat, aku baru berangkat diantar ayah. Karena
awalnya ku kira aku akan langsung berangkat dengan Irfan. Namun dasar si Irfan
anaknya pinter banget, jadi di jam 6 lewat belum siap-siap juga. Itupun setelah
cuitan pagi ibuku yang semakin nyaring karena aku sudah ‘terlalu’ kesiangan.
Sampai di Holywings, antrian sudah ramai. Menyapa
seorang ibu-ibu, dan bertanya terkait pendaftaran vaksin. “Sudah penuh, mbak”
jawabnya.
“Coba mbak, tanya sama security-nya aja. Tadi sih
katanya sudah penuh.”sahut seorang bapak tak jauh dari tempat kami. Setelah
mengucapkan terima kasih, aku lalu menghampiri security Holywings.
“Iya, sudah penuh mbak. Sehari dibatasi hanya 100 orang
soalnya. Biasanya suka ada pengumuman kalau misalnya ada lebihan kuota. Tapi
saya ga jamin. Kalau mau besok saja datang lagi” Jelas bapak security.
“Jam berapa ya, pak mulainya?” tanyaku.
“Mulai (antrian)nya tadi sih jam 5, mbak.” Jawab security
tersebut yang membuatku terhenyak kaget. Pasalnya, vaksin dimulai jam 9 pagi.
Mereka rela menunggu sampai 4 jam untuk vaksinasi.
“Orang-orang kok pada rajin amat jam 5 udah di tempat.
Pada dari rumah jam berapa.”, batinku.
Lalu tiba-tiba datang mas-mas yang bertanya kepada security
tersebut jika ia sudah mendaftar online. Aku lalu teringat kontak yang
semalam diberikan oleh ibu.
“Pak, yang daftar online itu yang lewat WhatsApp kan,
ya?” tanyaku yang dijawab iya oleh bapak security.
Aku lalu mencari tempat berteduh sambil menunggu
adikku. Begitu adikku tiba, kubilang bahwa kita akan ikut antrian pendaftaran online.
Ayah pulang ke rumah meninggalkan kami di tempat pendaftaran vaksin.
Berasa kena “prank”, ternyata yang dimaksud
pendaftaran online adalah yang sudah mendaftar di aplikasi. Hal tersebut
dijelaskan oleh security yang lain. Mungkin karena kurangnya koordinasi
sesama security, menyebabkan adanya miss-komunikasi. Akhirnya karena
sudah sudah penuh, kami lantas memilih
untuk pulang dan pergi lagi esok hari.
Kami pulang berjalan kaki. Kalau dilihat di maps, akan
butuh sekitar 26 menit berjalan kaki. Tapi kurasa, karena aku, akan memakan
waktu lebih lama. Maklum, kakiku pendek, dan jalanku pelan-pelan. Irfan yang
punya kaki panjang, yang bisa saja berjalan lebih cepat dariku, mengikuti dan
menyesuaikan ritme berjalanku. Ia berjalan sedikit di belakangku.
Sepanjang jalan, kami hanya diam. Menghemat tenaga
berjalan kaki yang lumayan ngos-ngosan juga. Walaupun jam masih
menunjukkan jam setengah 8 pagi.
Perlahan berjalan, sampailah kami melewati sebuah
gedung yang ramai oleh beberapa personel TNI di depannya. South 78. Nama sebuah
hotel, sepertinya. Para TNI itu tengah sibuk saling membagikan makanan
bungkusan. Aku hanya berpikir, “Oh, mungkin TNI itu lagi ada acara di tempat
itu.”
Lalu dari sebelah kananku, ada seorang ibu-ibu
berjalan mendahului. Ia menghampiri para TNI tersebut, mengeluarkan sebuah
kertas dan berkata, “Pak, saya mau daftar vaksin.”
Mendengar kata-kata tersebut, reflek aku menoleh.
Melihat ke arah ibu-ibu itu, lalu menoleh ke arah Irfan.
“Fan, itu ibu-ibu mau vaksin juga disitu. Kita ikut
daftar juga yuk.”kataku pada Irfan. Ia ikut menoleh ke arah ibu-ibu yang ku
maksud.
“Lah, emang bisa? Itu siapa yang ngadain? Bisa buat
umum ga?” tanya Irfan.
“Ya gatau. Kali aja gitu. Daripada besok harus ngantri
lagi subuh-subuh.”jawabku.
Irfan hanya terus berjalan, begitupun denganku.
Obrolan hanya sebatas menjadi obrolan, tapi kami tidak ada yang berani untuk
bertanya langsung ke bapak-bapak TNI yang ada di tempat tersebut.
D-Day
Aku memaksakan diri untuk tidur jam 9 malam. Dengan
harapan agar bisa bangun lebih pagi. Pokoknya tekadku sudah bulat agar aku
tidak kesiangan. Namun nahas. Waktu terus berjalan, saat kulihat jam
menunjukkan pukul 10.30 malam, dan aku masih belum juga terlelap. Mencoba
memejamkan mata berkali-kali, yang ada hanya perasaan gelisah. Menendang selimut
ke sana kemari. Memindahkan guling ke sisi kanan lalu kiri. Merubah posisi
tidur dari miring, terlentang, tengkurap lalu miring lagi.
Memang semula terasa nihil, hingga tak terasa aku
sudah memasuki alam mimpi.
Entah mimpi apa yang terjadi, ketika tiba-tiba aku
terbangun dengan perasaan aneh. Hal pertama yang kulakukan adalah melihat jam
dinding. 12.30. Belum ada 2 jam sejak terakhir kali aku melihat jam. “Ini kalau
tidur lagi, bangunnya kesiangan ga ya? Tapi kalau begadang, masih ngantuk”
batinku.
Aku lalu bangkit menuju kamar mandi. Setelah
menyelesaikan urusanku, aku kembali ke kamar. Karena masih mengantuk, aku
bersiap melanjutkan tidur dengan perasaan tidak tenang. “Pokoknya ga boleh
kesiangan” tekadku.
Kembali terbangun, dengan mata sayup-sayup ku lihat
jam di dinding. Hah.... helaku saat melihat jam menunjukkan pukul 03 dini hari.
“Kalau lanjut tidur, pasti kesiangan ini.” batinku.
Namun apa boleh buat. Mata masih terasa sangat berat.
Perlahan aku mulai terbuai dengan empuknya bantal. Beberapa kali mengerjap,
memastikan tidur tidak terlelap. 10 menit, ku buka mata. 15 menit, kubuka lagi
mata. Hingga kulihat jam di dinding menunjukkan jam 4 kurang 5 menit.
Aku memaksakan tubuhku bangun, lalu turun menuju
dapur. Aku mulai memasak telur dadar. Ku lihat nasi di rice cooker masih
banyak. Jadi tidak perlu memasak nasi.
Seperti orang hendak sahur, aku sarapan jam 4 pagi.
Tidak lama. Hanya 10 menit. Lalu kantukpun datang lagi menghampiri.
“Serius, hawanya pengen badan tidur aja. Dingin sejuk
ga ada nyamuk.” Aku membatin sambil memaksa tubuhku agar tetap kokoh dan tidak
berbaring.
Tak lama, sayup-sayup suara toa masjid terdengar. Aku
bergegas mandi dan siap-siap. Tak lupa membangunkan Kayla. Karena aku sudah
berpesan padanya semalam, untuk mengantarkanku subuh-subuh untuk mendaftar
vaksin. Irfan terserah dia lah. Mau vaksin syukur, enggak juga ya nanti kali
pasti vaksin juga. Atau lebih ke terpaksa. Karena mengingat sekarang untuk bisa
pergi ke luar kota harus menunjukkan surat vaksin.
Selepas sholat subuh, aku dan Kayla berangkat. Ibu
baru bangun, dan hanya menanyakan apa aku sudah sarapan yang tentu saja ku
jawab sudah. Melewati jalanan dini hari, udara sangat dingin. Aku dan Kayla
sama-sama tidak memakai jaket. Ah. Dan jalanan sangat gelap karena lampu
penerangan jalan dimatikan.
Sampai di Holywings, antrian sudah ramai! Bergegas
ikut masuk dalam barisan antrian, aku mendapat urutan ke-72. “71 antrian
sebelumku datang dari jam berapa???!!” jeritan batinku. Iseng ku tanya security.
“Dari jam 4, mbak.” Aku tidak bisa berkata-kata.
Mungkin karena memang hari terakhir vaksin gratis,
makanya antusiasme yang daftar meningkat drastis. Termasuk aku. Aku lalu duduk
di tempatku antri dengan masih memerhatikan lingkungan sekitarku. Menarik!
Kalau diingat-ingat, ini baru pertama kalinya aku
antri sepagi ini. Langit masih sangat gelap! Beruntung, di atas tempat dudukku,
ada lampu yang menyala.
Sekitar jam 6 pagi, ketika langit baru mulai
menampakkan kebiruan, dan cahaya matahari perlahan menampakkan diri, suara
gemuruh terdengar dari jauh dan mendekat dengan sangat kencang. Awalnya ku
pikir ada kereta yang lewat, saat sadar tidak ada jalur kereta sama sekali di
sekitar daerah rumahku. Berpikir kalau itu adalah pesawatpun tidak masuk akal,
karena suaranya jelas sangat berbeda.
Sebelum aku kehilangan momentum yang terjadi di balik
punggungku, aku lalu membalikkan badan dan mendapati 6 truk yang sedang melaju
kencang saling beradu balap. Suara mesin truknya benar-benar pertama kali itu
ku rasakan sensasinya. Maklum saja, meskipun pengalaman melihat truk
pasir/tanah yang lewat di daerah rumahku bukanlah hal yang asing, namun mereka
jarang bisa ngebut sebab jalanan yang selalu macet.
Sekejap mata, 6 truk itu menghilang meninggalkan deru
mesinnya yang masih terdengar kencang dari kejauhan. Sampai muncul satu truk
terakhir yang sepertinya tidak memiliki cukup tenaga untuk ikut dalam turnamen
balap truk iru. Atau memang supirnya yang mengedepankan keselamatan daripada
kesenangan semata. Tapi kalau dengar suara mesinnya, aku masih yakin kalau
mesin truk itu tidak cukup mampu untuk lebih kencang lagi.
Setelah aksi balap truk yang menyita perhatian seluruh
manusia yang ada di halaman parkir holywings, keadaan menjadi cukup damai dan
tentram. Semua sibuk dengan urusan masing-masing sampai balapan kedua datang. Sekitar
setengah jam setelah balapan truk terjadi.
Kali ini rasanya jalanan bak berubah jadi road motoGP.
4 buah motor gede atau moge melaju kencang layaknya Valentino Rossi. Aku lalu
ingat saat suasana di sekitar rumahku ini sebelum ada hoywings dan
teman-temannya (KFC, Pizza Hut, atau Starbucks), memang biasa dijadikan trek
balapan liar.
Saat hari perlahan siang, antrian perlahan kosong. Orang-orang
yang sudah antri dari jam 4 pagi, pada pergi mencari sarapan di sekitar tempat
vaksin. Karena memang harus makan dulu sebelum vaksin. Uniknya, ada tukang
jualan nasi uduk keliling menggunakan mobil yang terpakir tidak jauh dari
antrian. Juga ada tukang kopi keliling.
Kapan lagi ya, bisa melihat dan mengamati dunia luar
dari matahari masih sembunyi sampai udah gerah banget kejemur panas matahari. Yang
pada main handphone-pun dari baterenya masih full sampai tinggal
setengah. Yang batere handphone-nya udah bocor-bocor sedikit, mungkin
udah mau habis baterenya.
Akhirnya yang ditunggu mulai juga. Jam 9 pagi, semua
peserta vaksin disuruh berdiri dan mulai antri dengan jarak 1 meter antar
peserta. Mengumpulkan data diri berupa fotocopy KTP/KK (bagi anak usia
12-17 tahun). Setelah itu sebuah formulir bernomor diberikan. Anehnya, antrian
ku yang tadinya nomor 72, mendadak jadi nomor 99. Kacau. Pasti ada yang lobi
orang dalam nih, pikirku.
Aku tadinya tidak terlalu masalah sampai sebuah
pengumuman membuatku sedikit kesal dan kecewa.
“Untuk nomor antrian 80 ke atas datang lagi jam 1
siang ya.”
Memang rumahku dekat, memang jalan kaki bisa sekalian
olahraga. Tapi tidak tahu kenapa kesal saja. Mungkin karena sudah menunggu dari
jam 4 pagi, masih harus menunggu sampai jam 1 siang yang giliranku pun entah
jam berapa.
Sebelum sampai di rumah, aku sempatkan mampir ke
warung dan membeli es krim. Saat itu mungkin hampir jam 10. Langit mulai terik
panas, meski tidak terlalu juga sih. Aku masih enjoy juga berjalan kaki.
Iseng-iseng di jalan aku menghitung jumlah langkah
kakiku. Meski tidak akurat, sekitar 500 langkah kanan+kiri (atau 1000 langkah
jika di total). Tapi aku yakin sebenarnya lebih dari itu.
Sampai di rumah, bersih-bersih dan ganti baju, tidak
lupa cuci tangan.
“Udah selesai, kak?” tanya ibu.
“Belum, bu. Nanti jam 1 disuruh ke sana lagi” jawabku.
“Yaudah makan soto dulu nih.”
Ku lihat di kompor, panci berisi kuah soto kikil. Di samping
kompor berjejer sayuran seperti kol, tomat dan daun bawang serta mie telur juga
sambal.
Aku menuju ruang tamu untuk memakan es krim ku dan
melihat Haziq sedang memakan sotonya di sana..
“Makan, kak.” Katanya melihatku duduk di depannya.
“Iya, nanti.” Kataku.
“Udah selesai kak, vaksinnya?” tanyanya
“Belum, nanti jam 1 ke sana lagi.” Kataku.
“Berangkatnya naik apa? Mau bareng sama aku?” Katanya lagi.
Haziq memang ada jadwal kerja shift siang hari ini.
“Emang kamu berangkat jam berapa?” tanyaku.
“Jam 12” jawabnya.
Aku ragu. Kalau harus menunggu 1 jam, dan harus
menunggu giliranku dari urutan 80. Rasanya akan lama.
“Eh jam setengah 1 deh.” Katanya sebelum ku jawab. Sepertinya
ia melihat keraguan di wajahku.
“Bener jam setengah 1 ya? Kalau jam 12 kecepetan
soalnya.” Kataku akhirnya.
Hanya butuh 6 menit dengan motor untuk sampai di
Holywings. Apalagi Haziq bawa motornya kayak Rossi, ngebut banget.
Sampai di Holywings, ada tiga ibu-ibu yang mengajakku
mengobrol. Basa-basi, aku menanyakan domisili mereka. Ternyata dari Karawaci. Lumayan
juga. Walaupun tidak tahu pastinya di mana, tapi Karawaci terdekat ditempuh 17
menit dengan motor jika dilihat dari maps. Aslinya bisa lebih lama dari itu. Mungkin
setengah jam.
“Kalau antriannya nomor berapa, bu?” tanyaku.
“117, mbak.” Jawabnya.
Giliran mereka masih lama, tapi mereka sudah ada di
Holywings. Ternyata mereka tidak pulang dan memilih untuk jalan-jalan ke Giant,
yang berada di sebrang Holywings.
Tak terasa, akhirnya sudah jam 1. Terima kasih kepada
ketiga ibu-ibu yang sudah ramah mengajak ngobrol. Tadinya aku berniat hedon
nongki di KFC sambil nunggu jam 1. Beruntung aku tidak membawa dompet atau uang
sama sekali, jadi aku bisa menekan keinginan untuk hal-hal yang impulsif.
Lumayan cepat saat nomor 99 disebutkan. Itu karena
antrian sebelumku banyak yang masih di rumah dan belum datang. Aku bersyukur
bisa datang lebih cepat. Alhamdulillah.
Masuk ke ruangan, asik banget suasananya. Kursi diberi
jarak 1 meter. Dan tatanan style-nya emang bar dan cafe gitu ya jadi nyaman
banget. Dan ada AC nya. Point penting karena di luar panas banget, tjuy. Hehe
Sekitar 10 menit, giliranku untuk pengecekan kondisi
sebelum divaksin. Aku juga ditensi, yang hasilnya cukup mengejutkan juga.
149/80.
Dokternya memaklumi hal itu. Katanya, “ini agak
tinggi, tapi masih normal ya. Ibunya deg-degan ya.” Yang langsung ku iyakan.
Duh, iya. Selama pengecekan dan pendataan, semuanya
memanggilku ibu. Bahkan ada bapak-bapak yang bertanya, “Ibu antri sama anaknya
ya?” Karena ternyata bapak-bapak tersebut mengantrikan anaknya yang masih 14
tahun. Sedangkan aku mengantri untuk diriku sendiri.
Duh, calon suami di mana sih. HAHA
NEXT.
Aku sangat gugup sebelum divaksin karena takut jarum –mungkin.
Sebelumnya aku pernah mencoba mendaftarkan diri untuk donor darah yang langsung
ditolak baik-baik oleh pihak PMI, setelah aku bilang takut disuntik. Apa ya, seingatku aku
belum pernah disuntik. Tapi kalau suntiknya pas bayi mungkin pernah, tapi kan
aku tidak ingat ya.... :)
Aku juga cerita ke Haziq mengenai tensiku yang tinggi,
dan dia bilang “Yaiyalah lu nya takut.”
Aku hanya bisa tertawa. Tidak semenakutkan yang
dibayangkan, tapi setelah disuntik memang masih sakit ya tangan yang
disuntiknya. Apalagi kalau tangannya diangkat ke atas. Rasanya masih ada yang
menekan sehingga terasa sakit.
Tapi over all, tidak ada gejala apaun setelah
divaksin. Demam atau panas juga tidak ada. Karena dokter sebelum vaksin sudah
mewanti-wanti “Kalau ada gejala deman...”. Alhamdulillah I’m Okay dan bangga
sih udah divaksin.
Too much information, alias
TMI, tadinya aku males banget vaksin. Ku pikir, aku di rumah. Jarang keluar,
dan tidak ada rencana pergi jarak jauh antar kota/provinsi.
Karena yang dokter bilang betul juga. “Walaupun di rumah
aja, proteksi diri itu penting. Kalau udah vaksin jadi tenang nantinya mau
ngapain aja.”
Sekarang memang belum ada rencana pergi jauh atau keluar kota/provinsi, tapi kalau habis
lebaran haji ada yang lamar ke rumah bisa lah ya, kan udah vaksin. ;)
SKIP.
Ya itu panjang juga cerita vaksin eksperience-nya. Sekian
sampai sini, sampai jumpa lagi dalam keadaan sehat dan baik-baik semuanya!
N.O.T.E:
South 78: tempat Kayla vaksin. Oke baiq. Aku baru tahu
pulang dari Holywings D-1. Lihat handphone ibu, lihat pesan WA yang
dijapri ke Kayla. Kalau tau sebelum itu, mungkin bakal beraniin diri nyamperin
bapak-bapak TNI. Haha MUNGKIN YAAAA
~
T.H.E ----- E.N.D ~
Komentar
Posting Komentar