If I Know What Love Is, It Is Because of You
Aku menutup pintu kamarku pelan seolah tanpa tenaga. Obrolan dengan ayah barusan cukup membuatku merasa lemas dan terkulai duduk di atas lantai dekat pintu. Tanganku menyentuh dinginnya lantai dengan perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
"Bagaimana mungkin ayah tiba-tiba
mengambil keputusan itu? Tanpa sepengetahuanku? Bahkan tanpa berdiskusi
denganku?" batinku kalut. Tak terasa mataku berkaca-kaca dan dadaku terasa
sesak. Aku lalu terisak dalam diam cukup lama.
* * *
5 jam yang lalu * * *
Aku keluar
dari kamarku di lantai dua dan turun menuju dapur. Suasana pagi lantai satu
rumahku terasa sangat hening padahal hari ini adalah hari minggu. Di mana semua
orang berada di rumah karena libur kerja. Dari dapur aku bisa melihat teras
rumah yang ternyata motor yang biasa diparkir di sana tidak ada.
“Pagi-pagi
ini ayah udah ke mana?”, batinku sambil mencari makanan yang ada di dapur.
Aku lalu menemukan sebungkus roti
tawar yang telah dibuka sebelumnya di atas meja makan. Aku tersenyum senang
lalu mengambil toping yang ku mau di kulkas. Setelah menyiapkan piring dan
sendok di meja makan, aku lalu memanggang dua buah roti dengan cara dan resep
yang biasa ku lihat di tukang roti bakar.
Cara ini menjadi cara favoritku menikmati
roti karena ‘menekan’ keinginanku untuk jajan di luar. Bunda selalu marah jika
melihatku membawa makanan dari luar terutama yang dimasak di tempat. Bunda
masih sedikit memaafkanku jika makanan itu adalah makanan yang dibeli di
supermarket, walaupun tetap saja, bunda lebih suka jika aku makan di rumah
dengan masakan rumah.
Setelah menikmati dua buah roti keju dengan
segelas air putih, aku lalu mulai membereskan meja makan. Beberapa piring dan
gelas yang ada di meja makan ku bawa ke wastafel cuci piring. Beberapa
peralatan dapur kotor juga terlihat bertumpukan di lantai.
“Harus cepet-cepet diberesin ini mah...”,
batinku. Aku lalu mulai menyalakan keran wastafel dan mencuci piring.
Ini
adalah peraturan tak tertulis di rumahku, di mana dapur selalu menjadi
prioritas bersih-bersih dbandingkan bagian manapun di rumah. Termasuk ruang
tamu. Hari-hari menjadi lebih damai, jika kondisi dapur rumah dalam keadaan
bersih, rapi, meskipun ruang tamunya tidak. Maka, menjadi aturan tak tertulis
pertama di mana bangun pagi itu, yang harus disentuh terlebih dahulu adalah
dapur.
Memasak air
untuk membuat minuman hangat di pagi hari. Itu sangat membantu memulai hari
dengan tenang. Rileks. Jika ada bahan yang tersimpan di kulkas untuk membuat
sarapan, maka buat apapun untuk sarapan. Gorengan bakwan, tahu isi, tempe
mendoan, pisang goreng. Biasanya menu-menu ini adalah favorit keluargaku. Atau
roti bakar, yang rotinya dibeli semalam. Atau nasi goreng, tapi ini sangat
jarang. Kami -keluargaku- sangat menikmati nasi goreng sebagai menu makan
malam.
“Eh, kakak udah turun. Kapan turunnya? Kok
bunda ga denger?” tanya bunda begitu keluar kamar. Ia pasti keluar kamar karena
mendengar adanya ‘kehidupan’ di dapur.
“Udah sarapan, kak?” tanya bunda sambil
duduk di kursi meja makan setelah mengambil segelas air putih.
“Udah, bun. Bunda udah sarapan?” balasku.
“Udah, dong.”
“Pantes bungkus rotinya udah kebuka.”
sahutku. Bunda tertawa kecil.
“Itu adik-adik kamu belum pada bangun?”
tanya bunda. Aku melirik sekilas kamar adik bungsuku yang posisinya sejajar
dengan dapur. Pintunya sedikit terbuka, dan terlihat dua buah kaki menjuntai di
ujung ranjang.
“Belum, bun. Pada begadang sih
mentang-mentang malam minggu.” Jawabku seiring dengan selesainya cucian
piringku. Aku lalu mengelap sedikit bagian dapur yang terlihat kotor atau ada
cipratan minyak. Tak lupa juga untuk menyapu dan mengepel bagian dapur. Bunda
sudah daritadi pindah ke depan TV. Menonton acara ‘for mom’ yang biasanya
tayang hari minggu pagi.
“Bun, hari ini mau masak apa?” tanyaku
sambil ikutan duduk di depan TV.
“Nanti tunggu ayah aja. Kayanya ayah keluar
sekalian belanja. Seinget bunda di kulkas ga ada lauk apa-apa. Atau hari ini delivery makanan aja, kak. Bunda udah
lama mau makan bakso.” Jawab bunda.
“Asik..... beneran yah, bun? Kangen banget
bakso boedjangan.” Kataku ceria. Membayangkan akan makan bakso itu suatu
kebahagiaan buatku. Apalagi jika benar-benar memakan baksonya.
“Iya. Tapi tunggu ayah. Agak siangan ya”
Aku mengangguk lalu beranjak menuju ruang
tamu. Di sana aku sedikit melakukan pemanasan dengan niat akan berolahraga
sebentar. Gerakan-gerakan olahraga ringan yang bisa dilakukan di rumah.
Ruang tamu di rumahku terbilang bagian
rumah yang paling luas. Meskipun di isi sofa, bunda selalu menyisakan ruang
jika seandainya harus menggelar karpet karena tamu yang datang ke rumah lebih
banyak dari sofa yang ada. Para tamu yang tidak kebagian duduk tidak mungkin
dibiarkan berdiri, kan?
Selain itu, di belakang salah satu sofa,
bunda juga mendekorasinya dengan sebuah sofa dengan model lain. Sofa yang empuk
dan memiliki 2 fungsi berbeda. Jika dilipat akan menjadi sofa, namun jika
dibentangkan maka bisa menjadi kasur.
“Buat tamu yang nginep, kak. Kan kamar kita
ga banyak. Kecuali nenek sama kakek, pada tidurnya di sofa ini aja” jawab bunda
saat aku tanya alasannya mendekorasi sofa di sana. Ya. Karena dekorasi sofa itu
bisa dibilang masih baru. Sejak kelulusan sekolahku. Waktu itu ada beberapa
keluarga besar yang datang menemani kakek dan nenek menghadiri wisudaku. Untuk
nenek dan kakek tidur di kamar adik-adikku. Sedangkan adik-adikku tidur di
kamarku atau kamar ayah dan bunda.
Selesai berolahraga pagi, aku lalu
menikmati sinar matahari yang masuk ke rumahku. Rumahku memang menghadap ke
arah timur tempat matahari terbit. Selain itu, teras yang cukup luas tanpa penghalang
membuat sinar matahari pagi dengan bebas masuk ke dalam rumah. Menikmati sinar
matahari pagi dari sofa ruang tamu adalah salah satu rutinitas pagiku di hari
minggu yang sangat ku sukai.
Cukup lama menikmati sinar matahari dan
udara pagi, akupun masuk ke dalam rumah untuk meminum air putih. Bunda masih
dengan posisinya di depan TV. Bersama dengan adik pertamaku.
“Widih, udah bangun? Sarapan dulu roti nih.”
Kataku pada adik perempuanku itu, sambil duduk di sebelahnya. Ia menoleh
sebentar.
“Udah, dong...” jawabnya lalu kembali fokus
menonton acara TV.
“Oh udah...” balasku.
“Kirain gitu belum. Mau kakak makan rotinya”
lanjutku yang dibalas senggolan.
“Untung udah aku makan, jadi kakak gabisa
makan” rengutnya.
Aku tertawa pelan. Padahal aku hanya iseng
menggodanya. Kalau belum dimakanpun, paling-paling aku hanya akan bercanda
pura-pura akan memakan rotinya.
Tak lama berselang, terdengar suara pagar
depan dibuka. Disusul suara deru motor memasuki teras tempat memarkir motor. Ayah
pulang nih, batinku.
“Bun, jadi beli bakso ga?” tanyaku menagih
janji bunda tadi pagi.
“Emang mau beli bakso, bun? Tumben” sahut
adikku.
“Kata bunda tadi pagi ‘tunggu ayah dulu’,
gitu” jawabku mewakili bunda yang diam saja. No respon. Eh, tersenyum deh.
“Assalamu’alaikum...” suara Ayah memasuki
rumah.
“Wa’alaikumussalam”, jawab kami hampir
bersamaan.
Terlihat ayah datang dengan membawa
beberapa bungkusan plastik. Ada juga beberapa bingkisan menggunakan tas kertas/paper
bag polos berwarna cokelat.
“Dari mana, yah?” tanyaku melihat bawaan
ayah. Adikku juga menanyakan hal yang sama pada ayah melihat bawaan ayah yang ‘tidak
biasa’.
“Sarapan...” jawab ayah singkat.
Aku dan adikku terkaget-kaget dengan
jawaban ayah. Dilihat dari bawaannya, sarapan itu terlihat sangat banyak dan
sangat tidak biasa. Aku merasa cukup aneh.
“Padahal tadi kakak sama bunda bilang mau
beli bakso, yah.” Kata adikku yang tidak ditanggapi ayah.
Aku lalu menghampiri ayah dan mengambil
beberapa bingkisan dan menaruhnya di meja.
“Dari siapa, yah? Banyak banget loh, ini...”
tanyaku curiga.
Dengan santainya ayah menjawab, “calon
besan ayah sama bunda”.
Aku terhenyak.
“Besan, yah? Maksud ayah?” tanyaku gugup. Kini
dibanding curiga, aku lebih merasa khawatir dan cemas. Perasaanku tiba-tiba mengatakan
akan ada sesuatu yang sangat besar dibalik kepergian ayah pagi ini, dan segala
macam bawaan yang ayah bawa.
source: google.com | Bad Things at times do happen to Good People
Komentar
Posting Komentar