Tetap Harus Positif, 'kan? [Official Published]

www.jatimnet.com

Hari ini aku akhirnya menangis. Sebagai penikmat budaya kpop, banyak orang yang bilang jika sedang sedih dan ingin menangis, maka tonton saja drama korea dengan genre melo-drama. Dijamin air mata akan jatuh bahkan tumpah tanpa dapat ditahan. Namun nyatanya, hal tersebut tidak berlaku bagiku.

Hari ini aku menangis. Jika saja aku sudah tinggal di rumahku sendiri, atau kamar yang ku tempati kedap suara, aku pasti sudah meraung kencang, menangis sambal berteriak –meluapkan sedih sekaligus amarah atas sebab yang membuatku menangis. Sebagai orang yang tinggal di Indonesia, berkewarga negaraan Indonesia, berbahasa dan berbangsa Indonesia, banyak orang yang menangis kala berita Sriwijaya Air jatuh dipublikasikan. Atau tidak sedikit pula yang menangis kala Ulama yang sangat dicintai umat Islam, Syeikh Ali Jaber dikabarkan meninggal dunia. Namun sekali lagi, hal tersebut tidak menggerakkan air mataku untuk jatuh.

Hari ini aku menangis, kala akhirnya kenyataan pahit menampar relung hatiku. Memang manusia sangat naif, ketika akhirnya ia hanya mampu egois terhadap kejadian yang menimpa hidupnya. Ketika ia akhirnya merasakan sedih karena suatu hal yang menimpa dirinya; BENAR-BENAR terjadi padanya.

Sebagai anak pertama, aku bisa dibilang jauh dari orang tua. Bukannya tinggal jauh dan terpisah. Justru sebagai anak pertama, aku adalah anak yang selalu di rumah setelah adik bungsuku yang usianya terpaut 7 tahun denganku. Jika diakumulasikan sesuai dengan usia si bungsu, yang tahun kemarin menginjak sweet seventeen, bisa dibilang aku yang paling lama tinggal bersama orang tuaku (meskipun aku sempat merantau beberapa kali dengan akumulasi total 6 tahun). Hanya berbeda satu tahun saja dari si bungsu.

Namun yang dimaksud jauh di sini adalah jauh secara hati. Kami sering berselisih, bahkan kalau kalian sudah baca blog ku “when your family is your haters” kurang lebih adalah gambaran bagaimana lingkungan keluargaku, termasuk hubunganku dengan orang tuaku.

Namun adikku yang cerdas, yang baru saja menyelesaikan pendidikannya tepat waktu, akhirnya pulang ke rumah. Ia yang selalu ceria, yang paling dekat dengan orang tua, bahkan menjadi penengah ketika hubungan kakak/adiknya sedang tidak harmonis. Ia juga yang selalu menjadi jembatan informasi pada hal-hal yang jarang dibahas orang tuaku denganku.

Seperti suatu pagi, saat kedua orang tuaku sedang tidak berada di rumah. Mendadak ia mendatangiku dan bercerita. Tentang kegelisahan orang tuaku terhadap adik keduaku (atau bisa kubilang anak ketiga atau si dia). Saat ini, si adik keduaku ini sedang menempuh pendidikan di universitas negeri di Jawa Tengah. Dan, ia baru saja menyelesaikan KKN nya.

Yang membuatku sangat terperangah adalah ketika adikku bilang bahwa semester lalu, orang tuaku hampir tidak dapat membayar biaya kuliah adik keduaku. Memang saat itu sudah masuk pandemic Covid-19. Dari yang kudengar juga, dia memang mengajukan keringan biaya SPP.

Kakak tau ga, dikasih keringanannya sejuta apa ya dari kampusnya. Terus tiba-tiba ibu WA aku, nanya ‘teh gimana ya uang SPP nya si dia’. ya aku tanya kan, ‘emang butuh berapa, bu?’ terus dijawab 3 juta apa 3,5 juta gtu. Aku tanya lagi kan, ‘ibu adanya berapa? Biar teteh tambahin’. Eh ibu bilangnya cuma ada 500. Ya aku juga adanya cuma 2 juta. Akhirnya aku tanya, ‘kalo dari si dia solusinya gimana, bu?’ trus ibu bilang ‘katanya yaudah berhenti aja kuliahnya.’”

Rasanya dengar cerita panjang adikku saat itu, hatiku sakit. Kepikiran berhari-hari. Rasanya ada sesak yang mengganjal relung hati. Rasanya ingin menangis tapi tidak bisa.

Biar aku sekali ini saja bicara blak-blakan. Keluargaku bukan keluarga yang berada. Bisa dibiayai kuliah sampai semester KKN (aka. Semester 6) dengan SPP persemesternya 5 juta rupiah seharusnya dia bersyukur, bukan? Selama 6 semester, dia sudah menghabiskan 30 juta yang didapat dari hutang ke saudara, ke teman yang bahkan bukan siapa-siapa tapi selalu terasa lebih baik perhatiannya dari keluarga.

Dia bahkan sudah merasakan sendiri betapa lelahnya pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua kami, hanya untuk menutupi hutang yang dipakai membayar biaya SPP nya. Aku marah, sedih, kecewa dan tidak habis pikir dengan apa isi otaknya itu. Apa hanya soal wanita? Pacar? Yang dielu-elukan setiap bangun tidur sampai menjelang tidur lagi? Atau soal gamenya yang komputernya pun dibeli oleh orang tuaku untuk memenuhi permintaannya dengan dalih agar tidak perlu ke warnet untuk mengerjakan laporan tapi setiap waktu dilihat hanya soal game yang ada di layar PC nya. Padahal uang itu tadinya ditabung untuk bayar biaya SPPnya.

Hari ini aku menangis bukan karena itu. Namun memang tetap ada hubungannya.

Aku sendiri sadar diri karena masih menjadi beban orang tuaku. Seharusnya kalau aku lebih sadar diri lagi, aku seharusnya seperti kebanyakan orang, atau seperti di sinetron-sinetron, dimana anak pertama selalu merelakan impiannya, bekerja keras hingga bisa membantu biaya kuliah adik-adiknya, dengan pekerjaan apapun itu.

Tapi, masalahku di sini adalah aku yang masih hidup dalam bayangan masa lalu. Aku yang masih terjebak di dalam kekelaman masa lalu. Aku yang dengan egoisnya masih saja hanya memikirkan bagaimana cara agar dapat mengakhiri dan menang melawan diriku sendiri. Itulah masalah terbesarku.

Aku jauh dari orang tuapun bukan tanpa alasan. Mereka selalu melakukan kekerasan fisik saat aku kecil, dan mereka selalu melakukan kekerasan verbal saat aku dewasa. Dan aku, -lagi- dengan egoisnya hanya berkutat untuk mencari cara agar tembok yang ada di antara aku dan orang tuaku dapat hancur.

Aku memang dengan ketidak mampuanku, akhirnya menyerah pada masa depan. Aku menjalani hidup seperti air mengalir. Tanpa rencana apalagi resolusi. Dan itu yang membuatku menangis hari ini.

Saat teman-temanku satu persatu melangkah maju. Aku entah melangkah maju atau hanya jalan di tempat, atau malah berjalan semakin mundur ke belakang. Aku ingin terlepas dari kekangan ini, tapi lebih daripada itu aku ingin bisa tetap melanjutkan hidupku seperti orang lain meskipun aku belum bisa berdamai dengan masa lalu.

Kamu, mau aku beri satu hal rahasia?

Orang tuaku pernah berkata, “kakak sosialisasi kek, silaturahmi sama temen-temen lamanya. Komunikasi, tanya ada yang punya info lowongan kerja ga? Sekarang kerja itu butuh orang dalem loh

Sedangkan aku yang masih terjebak masa lalu, tidak pernah dekat dengan teman-teman SD, ataupun SMP. Hanya ada satu - dua teman di SMA. Semua teman yang kupunya hanya teman di kampus yang tidak sampai 20 orang. Aku mencoba ikut berbagai macam komunitas, tapi selalu merasa terasingkan, dan hanya bisa menjadi silent reader. Aku tidak tahu bagaimana memulai suatu komunikasi dengan orang yang baru ku kenal. Aku bahkan butuh waktu lebih lama dari kebanyakan orang untuk beradaptasi di lingkungan baru.

Aku juga pernah ingin mendaftar sebagai guru di sebuah SMA swasta di Jakarta, dengan kemungkinan 90% diterima(karena ada orang dalam: teman kuliahku), tapi kamu tahu orang tuaku bilang apa? “Janganlah, kak. Kamu kan gatau nanti di sana gimana. Nanti tinggalnya harus kos lagi. Belom makannya keluar uang lagi.

Gimana?

Aku emang masih mempertimbangkan kos-kosannya saat itu. Jadi belum bisa meyakinkan orang tuaku tentang satu hal itu saja. Tapi aku sudah  bilang bahwa di SMA tersebut disediakan makan siang. Toh, selama aku di rumah aku hanya makan 1 atau 2 kali sehari. Jadi aku bisa menghemat untuk makan. Transport pun lebih murah dibanding aku harus pulang pergi Tangerang-Jakarta.

Kalau aku dapat kos murah dekat kampus, aku tidak perlu keluar biaya jika harus mengerjakan tugas kelompok yang biasanya dikerjakan di kampus.

Semakin dilanjutkan tulisan ini, aku semakin sadar kalau aku memang cuman wanita egois.

Aku bahkan menulis ini karena menangis. Hahaha

Lucu banget, kan?

Pandemic ini banyak broadcast massage soal beasiswa. Aku sudah daftar semua beasiswa itu, tapi beasiswa itu hanya menerima 2 orang dari ratusan atau mungkin ribuan orang yang daftar, sehingga kemungkinan aku diterima sangat kecil. Meski begitu, tetap harus dicoba, bukan? Rezeki ga kemana, insyaa Allah. Untuk mencari kerjaanpun, beberapa dari teman-temanku menawarkan menjadi ART dan harus menginap. Sedangkan aku harus membantu orang tuaku dengan pekerjaan rumah juga.

Aku bahkan tidak berani izin ingin bekerja sebagai ART karena membayangkan reaksi orang tuaku yang “udah disekolahin mahal-mahal, dikuliahin, ngapain kalo ujung-ujungnya jadi ART?!

Memang sih, biaya kuliahku tidak ada dibiayai sedikitpun oleh orang tua. Paling hanya ongkos pulang-pergi yang itupun sebenarnya nominalnya tidak kecil. Itu sebabnya SPP ku menunggak sejak semester 1 sampai sekarang mau semester 7. Dan ini juga yang membuatku menangis. Aku rela mencari biaya kuliahku sendiri, karena tidak ingin semakin membebani keluargaku. Tapi kenapa adikku bisa dengan entengnya bilang ingin berhenti kuliah?! L

Aku yang kuliah di universitas swasta, berusaha mati-matian cari beasiswa karena terlalu sering ditolak. Tapi kenapa dia yang kuliah di negeri tidak ada usahanya untuk cari beasiswa? Apa dia bilang? “nanti UKT nya naik”. Ya setidaknya tuh dicoba  dulu !!!! T_T

Ada banyak sekali peluang beasiswa di universitas negeri. Kenapa disia-siakan karena hal bodoh T_T

Mari ku akhiri tulisan tidak jelasku di sini. Benar-benar hanya melampiaskan uneg-uneg penuh emosi.

Kalau kamu komentar, maaf yah jika tidak langsung ku balas. Se-jarang itu buka blog. Di email pun entah kenapa tidak ada notifikasi komentar yang masuk.

Terima kasih untuk segala supportnya. Aku tahu, meski sendiri aku harus kuat. Karena yang berjuang bukan hanya aku, tapi kamu dan kalian semua. Y

Semoga sehat selalu, dimurahkan rezekinya, dan Allah lindungi dengan Rahman dan Rahim Nya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencoba Transportasi Umum di Masa Pandemi

When Your Family is Your 'Haters'

Ketika "Lupa" pada Tugas dan Kewajiban