Setitis Rindu, Sejumput Pilu

Aku rindu, pada masa-masa itu

Masa di mana, yang ku temui hanyalah ribuan orang baik

Calon orang-orang hebat masa depan

Calon sahabat ke syurga

Namun aku lalai, –mendadak lupa atau bahkan menyengaja lupa– bahwa rinduku, jatuh pada dimensi yang kelabu

Aku rindu, pada hempas angin malam di atas sebuah rooftop

Yang –lagi– ku lupa, bahwa ia telah menjelma menjadi sebuah masjid bertingkat

Aku rindu, pada satu saja senyum dan sapaan;

Si dia, yang tak dekat namun selalu berjumpa

Si dia, yang tak saling kenal namun setiap hari berpapasan

Si dia, yang selalu menegur saat salah, membantu saat susah, menjawab tanpa perlu ditanya

Si dia, yang mengajak bersama-sama: jajan, makan, mandi, sholat, puasa, belajar, olahraga, bersih-bersih, ke 
kamar, ke masjid, ke kamar mandi, ke kelas, ke asrama, ke ruang guru, pergi laundry

Meski karena rinduku ini, aku selalu saja lupa, bahwa baginya, kehadiranku ini adalah sebuah kegelapan

Aku yang selalu menyakitinya

Aku yang memberi kesan dan kenangan kelam pada masa lalunya

Sehingga dia, tak lagi menengok ke arahku

Tak lagi menegurku

Tak lagi menyapaku

Tak lagi tersenyum padaku

Aku, Si rapuh, sejak saat itu selalu merindu.

Dalam kelakuanku yang membuat dia sakit, ada rasa sakit yang lebih pilu ku rasa

Rasa sakit yang terbentuk akibat dari rasa bersalah karena telah menyakitinya

Rasa sakit yang tiap hari makin erat terkunci mengelabui hari-hariku

Menyembunyikan mentari yang harusnya terbit esok pagi

Aku rindu, pada tempat-tempat yang selalu kami kunjungi bersama

Saung, ruang kelas, ruang makan, kantin, koperasi, Pe-i-Pe, ruang guru, perpus, masjid

Bukan sekedar karena tempatnya yang begitu istimewa

Namun menghabiskan waktu bersamanya di tempat yang istimewa, itulah saat-saat yang ku rindukan

Meski kerinduan ini pahit

Meski mengenangnya kini membuat sakit.

Aku rindu, pada waktu-waktu special yang kami lalui bersama

Jurit malam, camping, hiking, naik truk, pawai ramadhan, demo “Save Palestine”

Waktu special yang hanya dilakukan dengan si dia

Yang tak pernah lagi ku rasakan sejak 6 tahun terakhir

Yang tak bisa lagi kulakukan meski ku ingin

Karena dia telah pergi, meski tempatnya tak pernah sepi

Selalu ramai dikunjungi

Ada lebih dari ribuan bahkan ratusan ribu orang mendatangi

Terutama saat akhir hingga awal-awal tahun

Atau saat pertengahan tahun, saat hari yang fitri baru saja hadir.

Aku kira moodku hari ini yang tengah merekah bak mawar merah

Menjadikanku tak usah bermuram durja

Namun siapa sangka, sang gulita malam datang dengan rinai rintik hujan

Hingga aku tak mampu membendung duka

Kerinduan yang pilu pada wangi hujan malam itu

Saat sepasang kaki beralas sepatu menapak jalan dengan lampu temaram

Bahkan terkadang, lampu yang mulai redup, hingga akhirnya padam

Menapak sambil memercik air yang sedikit menggenang di jalan

Bekas hujan yang tinggal tersisa rintiknya

Yang tersisa bau khasnya

Khas wangi malam berpadu dengan aroma hujan

Ah, aku benar-benar rindu

Berjalan setelah hujan bersamanya sangat mengasyikkan

Bermain melangkahi genangan air, menyingkir kalau tak ingin sepatu basah dan kotor terciprat air kotor.

Aku rindu, kala tak terasa langkah kaki kami telah sampai di tujuan

Dengan beberapa lembar kardus yang terbentang di depan pintu

Menjadi alas ajaib mana kala becek

Entah didapat dari mana, seolah memang sudah disimpan dan disediakan sejak jauh-jauh hari.

Aku rindu, pada materi bahasa yang mengasyikkan bersamanya

Tak seperti saat aku harus lebih dulu pergi meninggalkannya

Bertemu yang baru, sesama apapun materinya, rasanya tidaklah sama

Benar-benar hadir sebuah perbedaan yang semakin membuatku jatuh merindu

Ingatku, untuk melepaskan saja si dia yang lalu

Namun apa daya hati yang terpikat

Semesta semakin mengiringi pilu hariku menahan kepedihan merindu

Duka dua tahun sempat terobati, kala berjumpa lagi dengannya

Namun si Rapuh, terlalu menoreh luka yang sangat dalam

Si Rapuh tak jadi bangkit, dan akhirnya memilih menjauh

Si dia pun sudah tak acuh lagi

Meski diam-diam, si Rapuh memerhatikan dia dari jauh

Menyayangi dia dari jauh

Mendoakan dia dari jauh

Mendukung, dan menyemangati dia dari jauh

Dia yang tak pernah tau, dan tak pernah sadar akan perlakuan istimewa

Khusus untuknya.

Aku rindu, pada hijaunya dinding tempat kita bercengkrama

Hijau yang khas

Hanya milik tempat, dimana aku dan dia pernah berada

Hijau muda yang menyejukkan pandang mata bersama gradasi hijau tua yang ada pada beberapa sisinya

Tak lupa pohon-pohon rindang yang tumbuh di depannya

Halaman yang memanjang dengan lingkaran di tengahnya

Ah iya! Mirip bunderan HI...

Namun kami sepakat, bahwa bunderan ini lebih indah dari HI

Lebih bersih, lebih sejuk, lebih tentram, dan lebih nyaman

Bangku-bangku berjejer tak jauh dari bunderan

Dengan beratap dedaunan dari pohon rindang yang tumbuh di tengah bunderan

Lalu, aku menolak lupa, bahwa kini pohon itu telah ditebang

Entah apa alasannya

Sempit kah? Kotorkah?(akibat dari dedaunan yang kadang berguguran) atau mungkin, mencari suasana baru?

Tidak ada jawaban pasti sebab ditebangnya pohon itu

Yang pasti, aku rindu.

Tulisan ini aku persembahkan untuk #1minggu1cerita sebagai bentuk kerinduan aku pada menulis.
So, menulislah walau #1minggu1cerita❤

Komentar

Postingan populer dari blog ini

When Your Family is Your 'Haters'

Ketika "Lupa" pada Tugas dan Kewajiban

Mencoba Transportasi Umum di Masa Pandemi