It's Her Life
Namanya Amarillys. Biasa dipanggil Lilis. Putri sulung dari 2 bersaudara ini sekarang menginjak usia 15 tahun. Ia juga baru saja duduk di bangku kelas 1 SMA dan masuk ke sekolah swasta favorit bergengsi di kotanya.
Namun suatu hari pada akhir semestar setelah ujian
berakhir, ayahnya datang ke sekolah. Dengan tampilan sederhana, kaus lengan
pendek berkerah dan celana jeans. Begitu sampai di sekolah, sang ayah langsung
mencari Lilis di kelasnya.
Saat itu tidak ada kegiatan belajar mengajar namun
terdapat agenda yang biasa dilakukan di akhir semester menjelang pengumuman
nilai sebagai ajang berkenalan antar siswa di sekolah. Kegiatan yang dilakukan
lebih banyak pada bidang perlombaan olahraga antar perwakilan kelas. Panitianya biasanya dilakukan oleh
annggota OSIS.
“Lis, itu ada bokap lo dateng.” ucap Rara, teman
sebangku Lilis yang baru saja datang dari kantin dan melihat ayah Lilis di luar
kelas. Lilis yang tengah membuat spanduk untuk mendukung perwakilan kelasnya
langsung menatap Rara bingung.
“Hah? Ngapain bokap gue jam segini ke sekolah? Eh,
tapi lo tau dari mana itu bokap gue?” balas Lilis terkejut. Bagaimana tidak?
Seharusnya ayahnya ada di kantor, bukan di sekolahannya seperti yang Rara
bilang. Dan belum ada satupun teman-temannya yang pernah bertemu ayahnya
sebelumnya.
“Itu tadi gue denger bokap lo nanyain Lilis anak kelas
10-1 sama kakak kelas yang lagi duduk-duduk di depan.” Jawab Rara.
“Ada Lilis ga?!” tiba-tiba seorang siswa berteriak
dari pintu kelas. Ka Adli, anak kelas 11 IPS.
“Ada, ka.” Jawab Lilis.
“Ada ayahnya, nih.” Ucap ka Adli.
Lilis langsung segera keluar setelah mendengar ayahnya
benar-benar ada di sekolahnya sepagi ini! Ada apa sih, sebenarnya?batin
Lilis, bingung.
Begitu keluar kelas, ia mendapati ayahnya berdiri tak
jauh dari ruang kelasnya menghadap ke arah lapangan sekolah yang memang ada di
hadapan kelasnya.
“Ayah” panggil Lilis.
“Kenapa, yah datang ke sekolah Lilis?” tanya Lilis
yang masih kebingungan.
Ayahnya tersenyum menatapnya kemudian berkata,
“Siap-siapin barang-barang kamu ya. Hari ini kita pindah sekolah.”
“Hah?! Kenapa, yah?! Kok tiba-tiba Lilis pindah?”
tanya Lilis setengah berteriak. Meskipun
ia marah, namun yang ada di hadapannya sekarang adalah ayahnya. Juga ada
teman-teman sekolahnya sekarang, sehingga sebisa mungkin ia menenangkan
emosinya yang ingin meledak.
Tanpa menjawab pertanyaan Lilis, ayahnya berkata “Ayah
mau ke ruang kepala sekolah dulu. Kalau udah selesai beres-beresnya, langsung
ke mobil aja. Ayah parkir di depan sekolah.”
photo by: google.com |
Ayah Lilis pun berlalu dari hadapannya. Lilis tidak
berusaha mengejar ayahnya untuk meminta penjelasan karena ia sendiri sejak lama
bukan anak yang menuntut penjelasan lebih dari setiap keputusan orang tuanya.
Dalam pikirannya, yang bisa ia lakukan sekarang hanya menuruti perkataan
ayahnya. Hal itu dilakukannya hanya supaya menjadi anak yang berbakti.
Setelah terdiam sejenak di depan kelas, Lilis perlahan
kembali ke kelasnya dengan langkah malas. Dilihatnya Rara dan beberapa teman
sekelasnya sedang berdiri di pintu kelas mengamatinya kembali sembari pandangan
mereka dipenuhi rasa penasaran atas apa yang sebenarnya terjadi. Melihat mereka
antusias atas alasan yang tidak sedang ingin ia bahas, rasanya Lilis ingin
segera ke mobil saja tanpa membawa barang-barangnya yang masih ada di kelas.
Dan benar saja, belum sampai pintu kelas, Rara sudah
menghadangnya dengan bermacam pertanyaan.
“Lis, ngapain bokap lo ke sekolah?”
“Mau jemput lo pulang ya, Lis?”
“Bokap lo sendirian apa bareng nyokap lo, Lis?”
“Sebenernya tadi gue ga sengaja denger, lo mau pindah?
Ke LN ya, Lis?”
“Lis, jawab dong...” Rara mencecar Lilis pertanyaan
hingga Lilis duduk di kursinya.
Lilis menoleh, menatap Rara, lalu memilih mengabaikan
segala pertanyaan Rara dan mengambil tasnya untuk merapihkan barang-barangnya.
Sebenarnya Lilis ingin diam saja tanpa membahas apapun.
Tapi ia segera sadar bahwa ini mungkin pertemuan terakhir dengan teman-teman
sekelasnya. Termasuk Rara. Tanpa terasa matanya mulai berkaca-kaca.
“Gue tuh gamau bahas ini, Ra...” kata Lilis sambil
menaruh tasnya di atas meja.
“...Tapi iya bener, gue mau pindah.” Lanjut Lilis
dengan wajah tertunduk. Suaranya sedikit parau menahan tangis.
Rara terdiam. Memberi Lilis waktu untuk berbicara
sambil menatapnya yang tertunduk.
“Gue gamau bilang kalo gue mau pindah, dengan harapan
mungkin ini semua cuma prank. Tapi kalo gue beneran pindah, berarti ini
pertemuan terakhir kita...” Lilis mulai terisak.
Rara menepuk pundak Lilis pelan, mencoba menenangkan. Teman
satu kelasnya perlahan mulai mendekati Lilis satu persatu. Dengan berbagai
tujuan, tapi Lilis akhirnya merasa ia tidak sendiri dan memiliki teman-teman
yang baik di sekitarnya.
“Lis, kita masih bisa kok ketemuan, masih bisa temenan
dan komunikasi terus lewat sosmed.” Kata Farah, ketua kelas di kelas Lilis.
“Iya, bener Lis... Kita sekarang mah udah enak mau
komunikasi gampang...”lanjut salah satu teman kelasnya menimpali kata-kata
Farah.
Semua teman-teman menghiburnya dengan sangat baik.
“Yang ada, malah kita yang sedih. Nanti di sekolah
baru kamu ketemu temen-temen baru. Pasti udah ga inget kita lagi.” Kata Rara.
Begitulah mereka saling mengobrol dan menghibur Lilis,
lalu mengantarkan kepindahan sekolah Lilis. Beberapa hanya sampai di pintu
kelas, beberapa bahkan mengantar hingga ke gerbang sekolah. Menarik perhatian
banyak kakak kelas, dan menjadi bahan perbincangan di antara mereka.
Komentar
Posting Komentar